Chp #37

3.4K 317 101
                                    

Satu jam berlalu begitu saja. Dua insan berbeda umur itu, masing-masing mengikat diri dalam keheningan. Semenjak datang dan duduk di sebelah brangkar Ananta, Athalla masih bungkam. Menunggu sang empunya kamar terlebih dahulu membuka suara. Namun, setelah waktu berlalu cukup lama belum ada suara sedikitpun yang mengisi ruangan itu. Selain suara deru napas keduanya.


Kesepuluh jarinya saling meremat. Kata-kata seolah mengudara hilang dari otaknya. Ananta membentang kecanggungan yang teramat lebar. Membuat Athalla pun ikut bingung harus memulai semuanya dari mana. Dua kakak-beradik itu tampak terlihat kaku dengan Athalla yang bertumpuk dengan rasa bersalah.

Matanya tak lepas dari Ananta. Memperhatikan gerak gelisah sang adik yang begitu kentara. Wajahnya tertunduk takut. Enggan menatapnya barang sedetik saja. Mungkin memang dia semenakutkan itu di mata sang adik.

"Maaf."

Ananta sedikit tersentak kaget kala suara berat penuh penyesalan itu merambati gendang telinganya. Lamunannya buyar dalam sekejap. Kenyataan menariknya cepat untuk kembali.

"Kamu ... Masih takut sama, Abang?" Athalla sedikit mencondongkan tubuhnya kedepan. Menelisik wajah Ananta yang masih disembunyikan darinya.

Ananta menggeleng kecil. "Kalau begitu angkat kepalamu dan lihat, Abang."

Sedikit terpaksa, Ananta perlahan mengangkat kepalanya. Namun, bola matanya masih enggan menatap iris hitam Athalla. Tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada rasa takut yang menyelimutinya.

Kepalanya memang terangkat, tapi tatapnya mengarah kebawah. Seolah ada yang lebih menarik disana, dibanding wajah penuh penyesalan Athalla.

"Maaf," ujarnya pelan. Setelah seribu kata hilang hanya kata 'maaf' yang langsung melintas di otaknya.

"Kenapa? Kamu gak salah, Abang yang salah."

Athalla bangkit dari kursi dan berpindah tempat duduk ditepian brangkar tepat didepan Ananta. Membuat dua netra miliknya juga milik Ananta bertemu dan memaku satu sama lain.

"Maafin, Abang udah sakitin Ananta waktu itu. Abang cuma gak mau pisah lagi sama kamu. Abang mohon jangan benci, Abang. Abang minta maaf."

Kepalanya menunduk perlahan. Serak suara itu menyayat batin Ananta. Meruntuhkan segala ketakutannya pada Athalla dalam sekejap. Itu benar-benar suara penuh penyesalan. Bahkan getarnya kentara siap menumpahkan kristal bening.

"Enggak. Justru Ananta yang minta maaf. Andai waktu itu Ananta enggak nekat pingen kembali sama Bapak mungkin Abang gak akan lakuin itu ke Ananta, 'kan?" Ananta meraih salah satu tangan Athalla. Membuat sang empunya mengangkat pandang.

"Maafin, Abang." kalimat terakhir sebelum Athalla membawa tubuh kecil itu dalam dekapannya. Memeluknya protektif penuh kasih sayang.

"Ananta juga minta maaf." Dua tangannya membalas pelukan tersebut. Menikmati aroma khas milik Athalla dalam-dalam.

Rindunya menguar. Hidupnya seolah kembali utuh. Rasa sakit kemarin bagai mimpi belaka dan keduanya baru merasa kembali bangun setelah tidur panjangnya.

"Kita mulai semuanya dari awal?"

Ananta mengangguk. Makin memeluk Athalla erat. Seolah keduanya tak mau dipisahkan lagi.

Namun, itu hanya kebahagiaan Ananta juga Athalla. Tidak untuk sosok yang masih setia berdiri menyaksikan dari jendela luar ruangan tersebut. Dirinya terlihat santai dan amat menikmati drama dihadapannya. Namun hati membara akan kebencian.

Galang, sosok yang pernah senang memiliki Athalla. Harus menelan pahitnya rasa dicampakkan yang sesungguhnya. Melihat Ananta berdamai dengan Athalla ia sangka akan turut membuatnya bahagia. Namun nyatanya, tidak.

Parashit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang