Chp #16

3.1K 331 70
                                    

Part 16

Selepas menunaikan sholat maghrib di mushola, Ananta baru pulang ke rumahnya. Tampak sepi di sana. Lampu menyala temaram mengisi ruang yang terlihat sempit. Di atas kursi kayu panjang, Hendra tampak tidur di sana dengan lengan tangan yang menutupi bagian matanya.

Ananta sebisa mungkin tidak menimbulkan bunyi yang memicu terganggunya tidur nyenyak Hendra. Maka, Ananta dengan kaki yang berjinjit berjalan melewati Hendra hendak menuju ke dapur. Cacingnya sudah berdemo sejak tadi.

"Baru pulang? Dari mana?"

Sontak suara itu menginterupsinya. Menahan langkah Ananta dan langsung membeku saat itu juga. Mencoba memutar tubuh secara perlahan, memeriksa apa yang telah terjadi.

Hendra masih pada posisinya. Tapi itu hanya sebentar, karna detik berikutnya Hendra bangkit dari tidurnya. Menatap nyalang Ananta yang menunduk takut.

"Jawab!" Ananta tersentak. Tubuhnya saja sampai terjengit meski samar.

"M-maaf, Pak. Tadi Ananta ada urusan sebentar," cicitnya.

"Urusan apa?! Kamu masih kecil belagu sekali cih!" suara Hendra meremehkan.

"Ma-maaf, Pak."

"Cepat buatkan kopi! ingat gulanya jangan terlalu banyak!" perintahnya.

Demi tuhan, Ananta hanya mendesah lirih. Tak ayal tubuhnya beranjak begitu saja menjalankan perintah dari Hendra. Menghiraukan rasa melilit pada perutnya.

Ananta hanya memerlukan waktu semenit untuknya menjalankan perintah dari Hendra. Kakinya beranjak hendak kembali menghampiri Hendra dan memberikan kopi hasil buatannya. Tapi di luar prasangkanya, Hendra muncul tiba-tiba dari balik pintu yang memisahkan kedua tempat tersebut. Tak ayal membuat itu membuat Ananta dan Hendra bertabrakan.

"Shhh!..."

Hendra mendesis. Pasalnya kopi panas menyiram tubuhnya sedangkan gelas kaca itu terjatuh langsung pecah. Hendra mengibas-ibaskan tangannya, menetralisir panas yang mulai membuat kulit nya memerah.

"Dasar bodoh!" umpatnya kemudian.

Ananta diam, menunduk dengan tangan meremat ujung kaos longgarnya. Tak berani menatap Hendra karna jelas lelaki itu kini menatapnya tajam.

"Sengaja kamu! Ha!!"

"M-maaf, Pak," cicitnya pelan.

"Dasar anak sialan. Buta kamu?! Ini panas bodoh!"

Ananta menangis, entah mengapa hatinya yang mulai tenang rasanya langsung porak poranda sebab bentakan keras tersebut.

"M-maaf, Pak. Nan-Nanta enggak sengaja. Nanta minta maaf."

Hendra berdecak keras, lalu memutar tubuh menjauh dari Ananta. Ananta luruh, berjongkok dan memungut pecahan gelas kaca sembari terisak. Tapi baru beberapa menit Hendra berlalu, pria itu kembali lagi. Menarik lengan Ananta kasar dan menyeretnya cepat.

"Aw... Sakit, Pak,"ringisnya. Tangan besar Hendra terlalu kuat mencengkram lengannya yang tak di sadari juga terkena tumpahan air kopi panas tadi.

Hendra menyentak tubuh itu. Membuangnya kasar sampai Ananta tersungkur di atas ubin kamar mandi yang lembab.

"Cepat cuci baju itu dan jemur sana!" perintahnya.

Ananta mendongak, menatap Hendra dengan mata memohon.

"Tapi Nanta laper, Pak. Biarin Nanta makan dulu, setelah itu nanti Nanta cuci bajunya."

"Tidak ada bantahan. Cepat cuci! Atau kamu malam ini tidur di luar!"

Parashit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang