Chp #22

3.1K 347 113
                                    

*Brakkk


"Angkat tangan!!!"

Ananta mematung di tempatnya. Mengangkat kedua tangan diudara tanda menyerah. Ada apa ini?

Beberapa polisi masuk kedalam rumahnya dengan membawa senjata api. Salah satu diantara ke lima polisi itu bergerak mendekati Hendra yang bahkan masih memegang piring berisikan nasi goreng dengan mulut penuh. Lalu dua polisi lagi menyusul dan mengamankan Hendra.

Ananta bergerak, menahan para kawanan polisi yang hendak membawa Hendra pergi.

"Bapak saya mau dibawa kemana?"

Kedua tangannya terlentang menghalangi jalan ketiga polisi yang mengapit tubuh Hendra.

"Minggir, Nak. Jangan menghalangi kami," kata salah satu polisi itu memberi pengertian.

"Tapi Bapak saya mau di bawa kemana, Pak?"

"Kami harus mengamankannya karna beliau ini adalah buronan para polisi selama satu tahun belakangan ini," jelas polisi itu dengan wibawa.

"Bapak saya salah apa?" Ananta bertanya pada polisi tapi arah matanya menuju ke Hendra yang tengah berusaha melepas cengkraman kuat dua polisi yang mengapitnya.

"Selama ini beliau adalah pembunuh bayaran. Dan sudah lebih dari 20 orang tewas karnanya."

Ananta tentu saja tercengang. Jadi pekerjaan Hendra selama ini menjadi seorang pembunuh bayaran. Ananta tak pernah memikirkan pekerjaan itu akan di kerjakan oleh Hendra, Bapaknya sendiri.

"Permisi." polisi itu menggeser tubuh Ananta yang diam membeku. Melewatinya begitu saja.

Beberapa menit Ananta biarkan dalam kebekuan. Membiarkan langkah semua orang menjauh dari tempatnya. Dengan siapa dia hidup setelah ini? Ananta takut sendiri. Ananta takut kesepian. Ananta takut terjebak sunyi. Hendra banyak mengisi kerumpangan dalam hidupnya meski lakonnya terlalu egois dan dingin.

"Bapak!" teriak Ananta.

Tapi itu semua percuma, semua orang menghiraukannya dan para polisi tetap menggiring tubuh Hendra masuk ke dalam mobil.

"Bapak!" Hendra menghentikan langkahnya membuat polisi yang menggiringnya ikut berhenti lalu menoleh kearah Ananta yang tergopoh-gopoh menyusulnya.

"Bapak jangan tinggalin Ananta. Ananta mohon."

Bocah itu bersimpuh, memohon dan menangis di atas tanah. Membuat siapapun yang melihatnya merasa iba dan tidak tega termasuk kelima polisi disana.

"Minggirlah," lirih Hendra dengan nada bicara penuh penyesalan.

"Aku sama siapa Pak kalo Bapak pergi? Ananta gak mau sendirian. Ananta takut, Pak," adunya.

Hendra melunak. Matanya berembun menyaksikan Ananta yang tidak merelakan kepergiannya. Sebenarnya Hendra sudah mati-matian menghilangkan jejak kala para polisi mengejarnya tapi memang polisi itu semua lebih pintar darinya. Sampai pada akhirnya Hendra tertangkap di rumahnya sendiri dan harus meninggalkan Ananta seorang diri.

"Maaf. Bapak gak bisa," kata Hendra dengan nada masih dingin tapi syarat akan penyesalan.

Ananta bangkit. Menggeleng ribut lalu meraih tangan Hendra yang sudah terborgol. Sungguh dirinya takut jika harus sendirian di rumah itu.

"Ananta ikut. Aku ikut, Pak," ucapnya menatap satu persatu orang dewasa disana.

"Mohon maaf, jangan menghalangi. Kami hanya menjalankan tugas. Besok kamu bisa ke kantor polisi, Nak."

Parashit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang