Chp #25

3.3K 398 109
                                    

"Bapak!" teriak Ananta.

Setelah hampir seharian Ananta membuat dua orang yang menolongnya khawatir, akhirnya Ananta bangun dari tidurnya. Meski itu karna mimpi buruknya. Napasnya memburu. Badannya terasa lengket dengan keringat yang masih melewati pelipisnya.

"Kamu sudah bangun?" pertanyaan retorik dari seseorang mengalihkan arah padang Ananta yang masih belum sepenuhnya jernih.

Wanita dengan aura keibuan itu datang menghampirinya. Memaksa Ananta bangkit dan mendudukkan tubuhnya. Tatap mata perempuan itu kentara begitu lega memaku pada dua netra sayu milik Ananta. Senyumnya teduh seperti milik seseorang yang jarang Ananta dapatkan, yakni sang ibunda.

"Mbak siapa?" Ananta mengucek mata. Menetralkan tubuh yang masih kaget dengan mimpi buruk barusan.

"Kenalin nama Kakak, Olive. Kamu bisa panggil Kak Olive. Nama kamu Ananta 'kan?" senyum itu menenangkan. Cantik parasnya menyejukkan mata yang sayup tak bisa terang milik Ananta.

"Mbak, ... eh Kak Olive tau darimana nama aku?"

"Dari semalem kamu ngigau, dan sebut nama Bapak juga Ananta. Jadi benar, nama kamu Ananta?"

Yang ditanya mengangguk ragu, meremat tangan yang gemetar sejak merekam senyum perempuan dihadapannya. Ananta rindu bundanya.

"Sudah bangun?" suara bass itu menginterupsi. Mengalihkan atensi dua orang berbeda usia itu. Samuel datang dengan makanan diatas nampan.

Ananta mengerjap. Belum kenal siapa sebenarnya orang yang telah menolongnya. Ternyata masih ada yang mau menerimanya di bumi ini, setelah semua orang memilih meninggalkannya.

"Iya, barusan aja." Olive yang menjawab karna Ananta masih canggung dengan situasi saat ini.

Sam menarik satu kursi menempatkannya tepat di sebelah ranjang tempat sang istri dan juga bocah itu terduduk. "Pas banget. Kamu makan dulu, ya? Biarcepet sembuh."

"Mual." Tangan Ananta refleks memegang perutnya. Memang, masih perih dan masih mual.

"Kalo gitu, Ananta minum obat dulu," titah lembut Samuel.

"Enggak. Aku harus jemput Bapak. Jadi gak bisa lama-lama di sini," Ananta bangkit. Menyibak selimut yang membungkus tubuhnya lalu menurunkan kakinya menggantung pada tepian kasur, "Terima kasih udah mau nolong dan ngrawat Ananta. Insyaalloh suatu hari nanti Ananta bakal balas budi kalian. Permisi."

"Tunggu!" sebelum bangkit, Samuel terlebih dahulu mencekal tangan Ananta. Memaksa bocah itu untuk tidak bangkit dari tempatnya.

"Wajah kamu masih pucat. Kakak yakin kepala kamu pasti masih pusing dan perut kamu nyeri 'kan?" cegah Sam.

"Istirahat dulu, setidaknya sampai orang tuamu menjemput kesini," timpal Olive.

"Kamu ingat gak nomer telpon ayah atau ibumu?" tanya Samuel.

"Aku udah gak punya orang tua."

Olive dan Samuel kompak berpandangan. Rasanya makin canggung ketika mengetahui kenyataan bahwa bocah sekecil Ananta adalah yatim piatu.

"Emm... Maaf. Kakak gak bermaksud-" kalimat Samuel terjeda ketika Ananta bangkit dari duduknya.

"Gak apa-apa, sekali lagi Ananta berterima kasih sama Kak Sam juga Kak Olive. Ananta janji enggak akan lupain kebaikan kakak berdua, terima kasih."

Ananta membungkuk, hendak beranjak namun lagi-lagi di cekal oleh Samuel, "Kamu mau kemana?"

"Mau jemput, Bapak. Dia orang yang udah ngrawat Nanta dari kecil."

Parashit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang