Chp #4

5.5K 385 48
                                    

"Bapak bilang apa tadi, Ta?"

Galang benar-benar menganggu makan malamnya. Sahabat nya itu sedari tadi hanya mengoceh menanyakan hal yang sama. Mulut yang masih penuh ia paksa cerita. Bikin seret saja.

Ananta tak menyahuti. Dia masih asyik dengan nasi yang ia kunyah. Hanya nasi dan tempe. Tanpa sayur. Sepertinya Galang telat menyisihkan makan untuknya sampai tak tersisa sayur untuknya.

"Ta, gue tanya lo diem aja to"

"Gue lagi makan..." jawab Ananta dengan mulut penuh.

"Duh... Duh..." Galang sampai khawatir anak itu tersedak saking penuhnya. Sementara Ananta malah terkekeh melihat sahabatnya yang menirukan gaya mulut penuhnya.

"Bapak gak bilang apa-apa. Cuma bilang suruh lebih banyak lagi kalo setoran." Ucap Ananta setelah tenang.

Galang bergidik ngeri. Sepertinya apa yang di ucapkan Ananta tidak seperti kenyataannya. Mana mungkin pria brengosan itu sesantai itu dengan hasil yang Ananta berikan hari ini.

Tidak tahu diri memang, Hendra itu. Anak jalanan ia pungut dan perbudak sebagai penghasil uang. Hasilnya pun ia pakai untuk kesenangan sendiri. Mabuk, berjudi, main perempuan. Dan untuk makan ara anak jalanan ini hanya semampu dan seadanya dia. Benar-benar tidak diurus secara baik.

"Dari dulu, Bapak itu kalo sama lo kok kayak dendam banget ya, Ta?"

Ananta menengidikkan pundaknya acuh. "Enggak tahu gue,"

"Ck! Semasa bodoh itu lo, Ta. Sebenernya lo itu manusia apa bukan si?"

"Gue sejenis ubur-ubur dari antartika"
"Pantes otaknya beku"

"Emang otakmu encer?"

Galang diam. Tapi itu tidak berlangsung lama karna setelahnya sosok tinggi tegap itu muncul mendobrak pintu. Mata tajamnya menatap Galang yang duduk meringkuk dibalik punggung kecil Ananta. Bulu yang tumbuh didagunya menambah kesan sangar dan menakutkannya. Hampir membuat Ananta hampir tersedak saking kagetnya.

"Galang!, sini kamu!" sentaknya tinggi.

Ananta yang kebingungan tentu saja hanya celingukan seperti orang bodoh. Tidak lagi ia hiraukan makanan yang masih lumayan banyak harus tumpah begitu saja akibat tersenggol kaki Hendra yang mencoba meraih Galang dari balik punggungnya.

"Enggak mau, Pak..." mohon Galang. Anak itu ketakutan. Ia tahu kemana Hendra akan membawanya.

"Bapak mau bawa Galang kemana?"

"Diam kamu!"

"Enggak bisa, Pak. Kalo Bapak bawa Galang, Nanta juga harus ikut"

"Bapak bilang diam anak bodoh!"

Hendra terus menarik tangan Galang dengan kasar membuat anak itu menangis pada akhirnya.

"Jangan, Pak!" cegah Ananta. Anak itu bahkan sudah tidak memperdulikan beberapa umpatan yang Hendra tunjukan kepadanya.

"Diam bodoh!!!" Hendra menyentak Ananta. Mendorong tubuh kecil itu sampai tersungkur cukup keras.

Galang yang sukses ia kuasai langsung diseret keluar, meninggalkan Ananta yang masih meringis kesakitan. Sungguh, tulang pinggangnya serasa remuk. Lantai disana keras juga ternyata.

Tak menyerah, Ananta mengejar dua orang itu keluar. Galang yang pasrah hanya menangis dengan langkah tertatih menyamai Hendra.

"Jangan Pak..." mohon Galang.

"Diam!"

Setelah sampai ditempat yang Hendra maksud, tubuh Galang langsung dihempaskan diatas kasur miliknya. Hendra melucuti satu persatu pakaian Galang. Anak itu sempat berontak tapi selalu kalah karna tubuhnya yang memang masih kecil.

Parashit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang