Chp #34

3.6K 385 166
                                    

Seminggu sudah Ananta di sini. Dalam ruangan besar namun menyeramkan. Terlepas dari kata itu dalam hati Ananta setidaknya selama dia diam dan menurut, Athalla akan merawatnya dengan baik. Walau tidak ada celah untuk pergi. Bahkan Athalla tak beranjak jauh dari sisinya. Menciptakan nyaman yang perlahan mendominasi meski dalam kekang pemaksaan.


Sekarang, di pangkuan Athalla, Ananta memejamkan mata. Seperti hewan peliharaan, Athalla mengikat simpul kedua tangan Ananta. Menghiraukan bekas memerah karna Ananta memaksa lepas dari ikatan tersebut.

Katakan saja Athalla gila. Benar. Dia sudah gila. Mengikat sang adik dan memaksa untuk menetap bersamanya. Sejenak tumpukan pekerjaan membuat otak Athalla runyam. Banyak hal ia lewatkan, tapi lebih banyak hal yang ia lewatkan dengan sang adik.

Bagi Athalla sekarang ini jauh lebih baik. Hidup tenang bersama sang adik dalam lingkup yang damai. Terpisah jauh dari bising kendaraan mobil juga hiruk pikuk orang-orang metropolitan. Dan Athalla bersyukur hanya dirinya yang tahu letak rumah ini.

Hanya saat terpejam Ananta bisa tenang. Selebihnya, jika tidak menangis pasti memberontak. Sebenarnya, dua orang dalam satu rumah itu seperti orang gila semua. Di mana Athalla tak ingin melepaskan sedangkan Ananta ingin sekali lepas. Keduanya sama-sama egois, hanya saja Athalla lebih kuat dalam situasi ini.

Jari besarnya bergerak lembut, menyisir tiap helai rambut Ananta yang melepek karna keringat. Bocah itu tak pernah tenang. Lingkar matanya sampai menghitam dan membengkak, sebab terlalu sering menangis. Tapi untuk hari ini Ananta berbeda. Seolah menyerah, Ananta merubuhkan tubuhnya menyandar pada dada bidang Athalla dan tak lagi menangis. Hingga akhirnya terlelap tidur di posisi seperti itu.

Athalla meringis, Ananta menderita karnanya. Dan benar apa kata Samuel tempo hari lalu mengenai PTSD yang di alaminya. Ia menghancurkan hidup Ananta yang sebelumnya pun sama menjadi lebih parah.

"Bang ..."

Athalla menoleh ke arah pintu. Di mana sosok yang selalu ia sayang sebelum Ananta kembali berdiri dengan kedua tangan saling meremat.

"Ada apa?"

"Boleh Galang masuk?" ucapnya penuh ke hati-hatian.

"Masuk." Athalla kembali fokus pada Ananta.

"Maaf ..."

"Sudahlah, mau apa lagi kamu? Apa masih kurang?" katanya datar.

Bekerja di rumah Athalla. Tanpa di gaji pun, asalkan Galang tinggal bersama mereka. Dua orang yang pernah ia bohongi. Bukan hal sulit bagi Galang menemukan di mana Athalla pergi. Dulu sebelum semuanya terungkap, Athalla pernah mengajak Galang ke rumah ini. Dan Galang pun menyusulnya.

Memohon dan menyerahkan dirinya sebagai budak asalkan Athalla mengizinkannya tetap bersama Ananta. Lalu setelah kesepakatan, Athalla membiarkan Galang tinggal dan tidak memberi siapapun tentang keberadaannya. Meski percaya, Athalla juga tetap membatasi Galang.

"Ananta, belum makan?" Galang melirik mangkuk bubur yang masih utuh di sisi Athalla.

"Belum, apa lagi?"

Athalla memang menerimanya tinggal serumah dengannya dan juga Ananta, semata-mata agar rahasianya masih terjaga. Bukan berarti Athalla mau memaafkan yang telah Galang lakukan sebelumnya. Jadi tidak perlu berharap Athalla akan bersikap manis lagi kepada Galang.

"Biar aku yang urus Ananta. Abang bisa istirahat aja."

"Saya mengizinkan kamu masuk bukan untuk bertindak lebih, bersihkan apa yang sekiranya bisa kamu bersihkan dan keluar dari sini."

Parashit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang