Chp #11

3.4K 282 31
                                    

Part 11

Langkah kakinya melemah, tak memiliki semangat. Bagaimana bisa Galang semangat sedangkan untuk kondisi Ananta saja dia belum tahu. Semalam dia sampai tidur didepan pintu kamar mandi berharap bisa mendengar suara Ananta dari dalam. Tapi sampai pagi menyingsing, suara Ananta tak terjamah dipendengarannya.

Hendra menariknya keluar, menyuruhnya pergi dan mencari uang. Meski Galang terus bersikukuh tidak mau menuruti perintah Hendra, anak itu tetap saja melangkah pergi. Karna Hendra mengancamnya, jika tidak pulang membawa uang Hendra akan makin menyiksa Ananta. Mengingat dendam Hendra yang sesungguhnya kepada Ananta, Galang pun harus melangkah pergi. Meninggalkan temannya yang masih terkurung di dalam kamar mandi.

--

Hendra membuka kasar pintu kamar mandi itu. Dapat ia lihat jelas sosok kecil itu meringkuk diatas lantai kamar mandi yang basah. Tubuh itu tak bergerak barang sedikitpun. Tubuh Ananta memeluk lututnya sendiri, berusaha menghangatkan tubuhnya sendiri. Hendra yang tidak mau tahu, seolah buta akan kondisi Ananta yang bahkan sebelumnya tengah terserang demam.

Hendra menarik lengan Ananta. Memaksa tubuh tak bertenaga itu bangkit dari tempatnya. Ananta masih sadar, hanya saja sudah tidak memiliki tenaga. Jangankan untuk berteriak, menangispun Ananta sudah tidak mampu.

"Akh!..." rintih Ananta. Bahkan suara tidak terjamah pendengaran Hendra.

"Sini kamu!" Hendra menyentak tubuh Ananta sampai tersungkur di lantai ruang tamu miliknya. Helaan napas terdengar dari Hendra. Dengan angkuhnya sosok itu berdiri dihadapan Ananta yang hanya mampu meringis kesakitan.

Hendra berjongkok. Menyamai posisinya dengan Ananta yang sudah menangis tanpa isak. Dengan cukup kasar, Hendra meraih dagu bocah itu. Memaksanya untuk menatap dirinya. Mata sayu itu tak mengerjab sedikitpun kala Hendra mengunci pandangannya.

"Sekarang kamu ingat tentang malam itu?"

Ananta menggeleng. Bibirnya bergerak namun tak mengeluarkan suara. "Eng-gak, Pak," lirihnya. Begitu lirih.

"Kau pembunuh bodoh!" teriak Hendra. Kristal bening keluar dari sudut mata Ananta. Tubuhnya rasanya sudah tidak karu-karuan. Sungguh ingin rasanya Ananta mati saja.

"Kenapa?" Hendra mengusap wajahnya kasar setelah dengan kuat melempar wajah Ananta begitu saja.

"Kecelakaan itu membuat kamu hilang ingatan, padahal saya berharap kamu tidak lupa dengan semuanya. Supaya kamu tahu apa kesalahanmu hidup di dunia ini."

Hendra sibuk dengan kecamuk dalam dirinya sendiri tanpa sedikitpun menghiraukan Ananta. Tubuh kecil itu sudah tergeletak tak sadarkan diri. Hendra cukup keras membuang wajah Ananta hingga membentur ubin rumahnya.

Yang Hendra rasakan hanya kehancuran dalam hidupnya. Dunianya seolah tak berguna barang sedikitpun. Nyatanya menyiksa bocah yang ia anggap pembunuh tak mengurangi rasa sedihnya yang sudah bertahun-tahun lamanya.

Hendra menangis untuk pertama kalinya, meluruh diatas lantai setelah sekelebat senyum istrinya menyambangi otaknya. Dengan kedua tangan kekarnya Hendra menutup wajah kacau nya. Melolong rintih mengudarakan kesedihannya yang sebenarnya. Hendra tidak jahat. Dia lemah tidak kuat. Hanya dendam dan egois yang membuatnya seolah seperti macan.

-----

Galang duduk di pinggiran trotoar. Mencari sampah plastik lalu mengamen. Galang sengaja mengambil alih pekerjaan yang sering Ananta lakukan. Gelisah di batinnya tidak bisa terelak. Bagaimana dia bisa mencopet seperti biasanya kalau pikirannya saja tengah kacau. Yang ada Galang bisa ketahuan dan berakhir di penjara.

Galang menenggak air dalam botol kemasan yang baru saja ia beli. Terik matahari seolah mengaburkan pandangannya. Sungguh ini sangat tidak nyaman. Galang mengusap peluhnya dengan baju longgarnya yang tampak lumuh. Mengibaskan tangan guna menciptakan angin untuk dirinya.

Parashit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang