Chp #31

3.5K 406 171
                                    

Tubuh lunglai itu tengah dibawa kabur oleh dua orang yang tentunya tak asing bagi Ananta. Galang dan juga Hendra. Mereka membawa kabur Ananta dari rumah sakit. Menghiraukan Ananta yang bahkan belum sadar karna pengaruh obat bius yang Samuel berikan.

"Kita mau kemana, Pak?" tanya Galang.

Punggung nya terasa sangat sakit. Beban yang sebenarnya tak seberapa itu membuatnya lelah karna menggendong Ananta dengan langkah berlari. Padahal sudah jelas tidak ada orang yang mengejar mereka.

"Pergi. Jangan di sini. Kalau bisa kita menghilang dan bawa Ananta. Jangan sampai Athalla mendapatkan bocah ini." tegas Hendra.

"Pak, kenapa gak kita biarin Ananta sama Bang Thalla bahagia dan aku tinggal sama Bapak?"

Hendra mengusap sudut bibirnya. Menyeka keringat dengan punggung tangan. Lalu mengambil alih tubuh Ananta saat di rasa Galang sudah sangat kelelahan.

"Tidak akan pernah. Kamu pikir Bapak akan diam saja melihat orang yang menghancurnya hidup Bapak bahagia dengan keluarganya? Sedangkan Bapak menderita sendiri tanpa orang yang disayang?"

"Bapak masih ada aku. Aku juga anak Bapak 'kan?" Galang ngotot.

"Untuk apa kamu mikir ini semua? Bukannya kamu benci Ananta karna semuanya sudah terungkap?" Hendra berhenti di salah satu bangku taman.

Setelah dipastikan tidak ada yang mengejar ketiganya, Hendra memutuskan diri untuk beristirahat. Memangku tubuh Ananta dengan disandarkan pada dada bidangnya. Galang mengikuti Hendra.

"Enggak, Pak. Selama ini aku gak pernah tenang tinggal sama Bang Thalla. Rasa itu selalu datang di mimpi juga hari-hari Galang."

Hendra menyerngitkan dahinya. "Rasa apa?"

Galang yang mendapat balas tatapan dari Hendra menatapnya memelas. "Rasa bersalah," Galang meremat ujung kaosnya.

"Tempat Galang salah. Cara Galang salah, meskipun semuanya memang bahagia. Semuanya Galang suka. Yang terutama adalah kemewahan tapi Ananta selalu hadir dalam bayangan itu. Apalagi setiap Bang Thalla panggil aku, Gian. Ada sakit tak kasat mata yang menyiksa dada Galang, Pak" adunya.

"Kamu bodoh! Harusnya nikmati semuanya dengan egomu. Jangan perasaanmu. Manfaatkan ingatan Ananta yang menghilang tanpa di duga dan terimalah semuanya sebagai mestinya. Tapi sekarang percuma." Hendra mencebikkan bibirnya. Menatap Ananta yang berada di dadanya.

"Anak ini sudah mendapatkan keluarganya. Dan semuanya rusak karna bodohnya kamu, Galang!" sambungnya.

"Bukannya Bapak yang teriak meng-iya-kan ucapan Toni?"

"Karna semuanya sudah jelas. Kamu hanya diam tanpa mengelak. Tentu sudah sangat mudah menebak kalau kamu berbohong. Apa namanya kalau bukan bodoh!" Hendra mengalihkan pandangan tajamnya.

"Eughh ... Ba-pak."

Lirih suara Ananta yang mulai perlahan membuka mata sayunya.

"Ba-pak." parau suara itu menghujam batin Hendra.

Mata sayu itu membelenggunya. Menciptakan desiran kuat di hati Hendra. Wajah pucatnya kentara begitu jelas. Belum lagi sedari tadi Hendra sudah merasakan tubuh kecil itu suhunya cukup panas. Dan kini malah ia bawa kabur hanya dengan piyama rumah sakit yang longgar dan tanpa alas kaki.

Parashit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang