Part 13
Hari yang terasa begitu panjang. Sosok mengerikan itu terlentang di atas kasur. Entah sejak kapan dirinya menyukai kegiatan itu. Menatap langit-langit kamar bernuansa navy dengan tatapan kosong penuh air mata. Padahal sebelumnya ia tak pernah menangis semengerikan ini. Pada akhirnya ia termakan kekesalannya sendiri. Berkali-kali merutuki diri sendiri yang sebenarnya tak akan merubah apapun.
Sambutan yang sangat apik Athalla suguhkan untuk dirinya. Ada tawa yang seolah hilang diantara binar kebahagian tadi. Galang rindu Ananta. Entah harus berbuat apa dia sekarang. Terus menyesal atau malah menikmatinya saja. Sampai kapan?
Sampai Ananta mati secara perlahan?
Bunuh saja Galang sekarang juga jika takdir Ananta tergaris seperti itu.
"Lang" suara itu menginterupsi.
Galang buru-buru menyeka air matanya dengan punggung tangan kemudian duduk di tepian ranjang. Sebisa mungkin menyambut sosok Athalla yang kini mulai berjalan mendekat.
"Kamu kenapa?" tanya Athalla.
Galang menggeleng keras.
"Kamu nangis? Galang enggak seneng, ya, tinggal sama Abang lagi?" Athalla duduk disampingnya. Mengusap pundaknya dan menatapnya intens.
Galang menggeleng lagi. "Enggak, Bang. Galang seneng banget malahan bisa tinggal sama Abang lagi. Tapi..."
Athalla mengerutkan dahinya. Menelisik ekspresi wajah Galang untuk dia baca.
"Kenapa?, Ananta lagi?" tanyanya menebak. Tapi tebakan Athalla tepat.
Galang mengangkat kepala, meraih tangan Athalla dan menggenggamnya erat. "Bang, Galang mohon bawa Ananta tinggal sama kita."
"Maaf, Lang. Abang enggak bisa. Dia bukan hak, Abang."
"Ayolah, Bang. Persetan sama hak. Bapak enggak bisa rawat Nanta dengan baik. Lagi pula Ananta bukan anak kandungnya Bapak. Jadi Abang bisa rebut Ananta secara paksa dan bawa tinggal di sini bareng kita."
Dengan sebelah tangannya, Athalla membalas genggaman sang adik. Mencoba memberinya pengertian semampunya.
"Lang, dengerin Abang... Ananta memang bukan anaknya Om Hendra tapi selama ini Om Hendra yang udah merawatnya. Jadi bagaimanapun usaha kita buat bawa dia tinggal di sini, Ananta itu tetap hak Om Hendra. Kecuali kalau Ananta juga adiknya Abang. Apapun halangannya pasti bakalan Abang perjuangin."
Lidah Athalla bagai pedang yang langsung menghunus dadanya. Galang merasa tertohok. Napasnya seolah tercekat usai Athalla berucap sedemikian rupa. Batinnya makin campur aduk. Apa mungkin sekarang waktu yang tepat untuk mengatakan kebenarannya, semua belum terlambat bukan?
Ini bahkan baru beranjak malam waktunya tidur. Belum genap 24 jam Galang berbohong. Gila sekali dia. Tanpa disadari, air matanya jatuh.
"Hei... Jangan nangis. Sekarang ada Abang di sini. Kamu percaya sama Abang, Ananta bakal baik-baik aja. Jangan fikirin apa yang belum tentu terjadi"
Athalla membawa raga Galang ke dalam pelukannya. Menenangkannya dengan sentuhan lembutnya. Tapi bukannya tenang, Galang malah makin terisak kencang. Membalas pelukan Athalla protectif.
Athalla menyerngit ragu. Tangisan ini tak menusuk hatinya sedikitpun. Justru dirinya gelisah kala otaknya memikirkan hal yang mungkin akan terjadi kepada Ananta setelah kepergian Galang dari kehidupan bocah itu.
----------
Matanya mengerjap beberapa kali guna memfokuskan pandangannya yang masih memburam. Warna yang pertama kali menyambutnya adalah warna putih. Seperti bukan rumahnya. Rumahnya tak memiliki warna seterang ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Parashit!
Roman pour AdolescentsUp ulang "Kapan aku bahagia?" "Setelah kamu mati. Kebahagiaanmu menanti diujung sana." ®Sugarcofeee