Chp #41

2.5K 266 126
                                    

Seusai dari pemakaman keluarganya mereka langsung menyambangi rumah sakit dimana Samuel bekerja, sesuai apa kata Athalla tadi pagi. Tujuan Athalla menemui Samuel tiba-tiba tentu saja terkait kondisi sang adik. Dan di sini Gian sekarang. Duduk seorang diri di taman rumah sakit. Athalla tidak mengizinkannya ikut dan mendengar perbincangan mereka.

“Hallo, Kakak."

Suara kecil nan menggemaskan itu mengalihkan atensi Gian. Menoleh ke samping lalu tersenyum saat mendapati pemilik suara tadi tak jauh dari tempatnya.

“Hai,” balasnya. Gian mengangkat satu tangannya. Memerintah anak kecil itu mendekat.

“Aku punya sesuatu buat Kakak.” Gian menyerngit.

“Oh, iya? Apa itu?”

Bocah itu menyodorkan sesuatu dari belakang tubuhnya. Lalu memutar tubuh dan berlari menjauh dari tempatnya tanpa berucap lagi.

“Hei!” panggil lantang Gian. Namun sia-sia, bocah itu sudah jauh hilang tertelan kerumunan.

Ditangannya kini kotak hitam itu berpindah tempat. Tidak ada nama pengirim. Apa mumgkin hadiah dari fans? Gila saja, memangnya Gian siapa sampai mempunyai fans?

Sedikit ragu Gian membuka kotak hitam tersebut. Sebuah boneka kecil—seukuran dengan kotaknya—berhias bercak warna merah juga secarik kertas di dalamnya.

Tidak dilipat hanya selembar kecil yang langsung Gian balik.

“Menengoklah ke kiri. Saya menunggumu :)”

Kontan saja Gian menuruti apa yang dituliskan di sana. Kelompak matanya membulat, dengan pupil mata yang tegas. Di sana, di sudut taman rumah sakit sosok yang tak asing untuknya berdiri dengan mata menatapnya.

Setelah sekian lama orang itu kembali muncul dihadapannya.

“Ba—pak,” cicit Gian pelan.

Jauh di sana, Hendra menyunggingkan senyum. Menyorotkan binar lembut yang ia buat supaya bocah yang ia harapkan itu kembali ketangannya.

Senang, tentu saja. Dari dulu masih tetap sosok itu yang selalu jadi idola butanya. Orang yang merawatnya. Meski tidak bisa dikatakan baik.

Perlahan bocah itu terhanyut. Langkahnya perlahan bergerak mendekat. Memangkas jarak yang membentang jauh memisahkan keduanya.

“Bapak,” gumamnya. Kedua tangan itu terulur siap menerima Gian.

Lebih dari kata senang lagi. Gian merasa dunia yang ia harapkan benar-benar terwujud sekarang. Hendra mau menerimanya sebagai anak? Benarkah?

Langkahnya terus memangkas jarak tanpa ragu. Menerbitkan senyum lebih lebar lagi milik Hendra. Namun satu teriakan keras tiba-tiba menyambangi rungu Gian. Membuat tubuhnya berhenti dalam sekejap.

“Gian!”

Tak asing bagi dua orang itu. Dan sudah jelas, di ujung lorong rumah sakit Athalla berdiri di sana dengan tatap nyalang membidik Hendra.

Tak lagi melanjutkan langkah, bocah itu hanya menatap dua orang itu secara bergantian. Membiarkan jarak dirinya dengan Hendra masih tersisa dengan Athalla yang mulai bergerak cepat mendekatinya.

Parashit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang