Keluarga Smitch sudah berada di kediaman rumah mewahnya. Elisya masih bingung, kenapa keluarganya membawanya pulang? Harusnya dia senang karena bisa terbebas dari aturan-aturan pondok, disisi lain dia sedih karena tidak bisa ketemu Gus idamannya.
Elisya berjalan menghampiri sang ibu untuk bertanya pada Lia. "Bun, aku kenapa di bawah pulang?" Ia bertanya dengan tampang polos.
Belum juga dijawab oleh Lia, kedua abangnya berseruh teriak kegirangan. "Yee.. adek Abang dah pulang," mereka mengampiri Elisya yang masih diambang pintu. Gadis itu masih diam mematung, masih mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.
Jantung Elisya berdegup kencang. Semua saudaranya memang tidak ada yang benar, suka sekali berteriak dan mengagetkan. Gadis itu menatap malas para abangnya.
"Ck! Kek bocah!" Elisya berdecak kesal melihat dua abangnya yang tengah tersenyum menatapnya.
Padahal umur mereka sudah tidak kecil lagi, tapi sikapnya seperti anak kecil. Elisya menggelengkan kepalanya pelan. Rendi berlari berhemburan memeluk Elisya, di susul oleh Rizky. Sampai gadis itu hampir saja terjungkal kebelakang.
Pasokan udara seakan menipis. Saudaranya itu terlalu kencang memeluk dirinya. Dengan susah paya akhirnya Elisya terlepas dari jeratan para makhluk ini. "Astaghfirullah.. sabar." desisnya pelan mengelus dadanya mencoba untuk bersabar.
Rendi tertawa kecil melihat respon adik bungsunya. "Abang kangen banget tahu sama kamu,"
"Lebay!" Elisya mencibir pelan.
Rendi tidak sakit hati dengan respon sang adik, dia sudah biasa. Adiknya satu ini memang suka sekali bikin emosi, tapi untung sayang. Jika dibandingkan lebih bikin emosi mana antara Elisya dan Putra, maka jawaban Rendi ialah Putra. Adik laki-lakinya itu suka sekali ngebantah.
Rizky merangkul adiknya, lalu ia cium pucuk kepalanya dengan sayang. "Sudah lah Ren, adik kita yang satu ini memang cuek orangnya. Harus banyak-banyak nyetok sabar,"
"Cuek dari mana? Orang bar-bar gitu. Dulu aja perna ngambil gorengan lima tapi ngakunya cuman dua,"
Seorang laki-laki baru masuk rumah dan berjalan menghampiri mereka. "Dia itu barbar abis Bang, dulu waktu kecil aja pernah gebukin anak tetangga gara-gara enggak di pinjamin berbie,"
Elisya melotot menatap Putra, memeringati cowok itu. Mengapa kembarannya itu masih ingat sih?
"Kamu pernah gebukin anak tetangga, sayang?" Lio berjalan kearah Elisya.
Nah kan. Memang benar-benar Putra, dasar ember! Siap-siap dapat siraman rohani dari sang ayah.
"Waktu itu aku masih umur 12 tahun, jadi aku enggak begitu paham. Lagian udah lama kok kejadiannya," jelas Elisya dengan raut wajah tenang. Sebenarnya hatinya ketat ketir, apalagi anak yang pernah ia gebukin masih berada di kawasan komplek ini.
"Umur segitu Lo udah gede ye! Anak sape yang elu gebukin, heh?" Elisya meneguk ludahnya kasar kala ibunya juga ikut-ikutan, apalagi wajah Lia garang banget.
Putra terkekeh pelan melihat saudaranya yang dipojokan. "Itu lho Bun, anaknya Bu Sri yang tinggal di no 5. Bahkan sampai sekarang bekas lukanya masih ada lho Bun Yah," laki-laki itu semakin gencar mengompori.
Elisya menatap tajam Putra seolah berbicara lewat tatapan, "Mati Lo abis ini Put!"
Mendengar penuturan Putra ketiganya membuat darah Lia mendidih, seolah bisa meledak kapan saja. Lia merasa tidak enak hati terhadap Bu Sri, apalagi beliau begitu baik kepada keluarganya. Eh, anaknya bikin ulah tanpa sepengetahuannya.
Lio merangkul istrinya hangat, ia tahu bahwa istrinya kini tengah emosi. "Gimana istighfarnya, sayang?"
"Astaghfirullah hal'adzim.." Lia mengelus dadanya berusaha sabar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Tomboy Masuk Pesantren? [WES RAMPUNG]✔
Hài hướcMENDING LU PADA BACA VER 2 DEH, DI SANA LEBIH BAEK DARIPADA DISINI!! (Berhubung saya malas revisi, jadi saya membuat STMP ver.2. Di sana penulisannya lebih baik, 60% since tidak ada di STMP ver.1. Tapi tenang saja alurnya masih sama Shay. (Tapi ters...