Kau bisa memegang ucapanku,
.....Jisoo duduk sendirian di bangku taman dekat rumah sakit. Suasana disana sedang tidak begitu ramai, jadi cukup nyaman untuk menenangkan pikiran sejenak. Hari ini dia terpaksa izin tidak masuk kerja karena harus mengurus kepulangan Taeyang dari rumah sakit. Meskipun awalnya ia khawatir Yunhyeong tidak akan memberi izin, tapi syukurlah kekhawatirannya tidak berarti apa-apa.
Wanita itu menikmati daun-daun hijau yang menari dihadapannya. Warna hijau kini benar-benar mampu mendinginkan pikirannya yang serasa mencekak. Jisoo menyandarkan punggungnya pada kursi taman dan memejamkan mata sejenak. Membiarkan hembusan angin menerpa tubuhnya dan jika saja bisa, ia harap beban pikirannya juga bisa ikut kabur bersama tiupan angin tersebut.
Sekilas ingatan tentang pria itu muncul dibenak Jisoo. Pertemuan mereka tadi malam membuatnya terus mencoba memikirkan kembali keputusannya. Apakah hal yang ia ambil itu benar atau justru akan menjadi boomerang suatu hari nanti. Ia tak tahu dan tak ingin memikirkannya lagi.
Jisoo merapatkan kelopak matanya. Sesaat ia bisa terlelap dalam tidur. Membebaskan otak dari banyaknya hal yang harus ia pikirkan beberapa hari belakangan. Tidur adalah sebuah kenikmatan bagi mereka yang membutuhkan waktu untuk mengistirahatkan tubuh maupun pikiran.
.
.
.
Jisoo merapikan pakaian Taeyang dan memasukkannya ke dalam tas. Hari ini pria paruh baya itu telah diijinkan pulang. Kondisi fisiknya saat ini memang terlihat baik, namun Jisoo tahu rasa sakit akibat penyakit itu bisa muncul kapan saja.
Taeyang masih duduk di atas ranjang sambil memperhatikan kesibukan putri semata wayangnya. Jauh di dalam hatinya, ia merasa sangat bersalah pada wanita itu. Gara-gara dirinya, sang putri harus menanggung semuanya. Masa muda yang harusnya ia nikmati dulu, justru harus digunakan untuk membanting tulang mencari uang untuk membayar hutangnya yang menumpuk.
Dan sekarang lihatlah, Taeyang jatuh sakit dan mungkin umurnya sudah tak lama lagi. Tentu beban Jisoo semakin bertambah. Ia memang ayah tidak berguna. Tidak ada hal yang bisa ia banggakan dihadapan putrinya sebagai seorang ayah. Kehilangan Hyorin adalah hal paling menyakitkan dalam hidup Taeyang. Namun, tak seharusnya ia melampiaskan kesedihannya dengan menghancurkan kehidupan putrinya sendiri.
"Kau tidak masuk kerja hari ini?" tanya Taeyang pada wanita dihadapannya. Ia jarang sekali membuka sebuah pembicaraan diantara mereka. Keduanya terlalu sibuk dengan urusan masing-masing, sampai hampir tak pernah berbincang santai sama sekali. Sekat yang mereka bangun selama hampir dua puluh tahun ini sudah terlalu tinggi.
"Aku sudah meminta ijin tidak masuk hari ini." ucap Jisoo dengan nada kaku. Pakaian terakhir Taeyang kini sudah masuk ke dalam tas. Wanita itu segera beranjak dari duduknya.
"Aku akan mengurus administrasi sebentar." Jisoo segera berlalu menuju pintu keluar sebelum sebuah suara menahan langkah kakinya.
"Soo..." Wanita muda itu menoleh ke arah sang ayah.
"Terimakasih." ucap Taeyang dengan suara lembut.
Entah kapan terakhir kali Jisoo mendengar pria itu berbicara dengan nada selembut tadi. Mungkin saat ibunya masih hidup dan kehidupan keluarganya masih harmonis seperti dulu. Sudah sangat lama rasanya.
Jisoo hanya menatap wajah pucat Taeyang tanpa bersuara. Jauh di dalam hatinya, ia sangat merindukan sosok ayahnya yang dulu. Bisakah ia merasakan kasih sayang Taeyang lagi, sebelum pria itu benar-benar pergi menyusul sang ibu?
YOU ARE READING
✔ Beauty & The Jerk
Fanfiction[BINSOO STORY] Jisoo selalu kesulitan menggambarkan sosok Hanbin. Kesempurnaannya terbungkus rapi hingga membuat siapa saja yang melihat tak akan menyangka jika pria itu menyimpan kotak hitam didalam rongga hatinya. Bahkan ikatan pernikahan tak mamp...