Tentang ketakutan, tentang kesepian, tentang kerapuhan. Tak mudah menyimpan semua itu seorang diri.
———S.M———
Saat upacara pemakaman Nenek Kim, semua keluarga menunjukkan wajah sedih. Hanbin keluar dari rumah dan mendengar pelayan bergosip tentang kejadian aneh di malam sebelum nenek meninggal. Hanbin lalu melihat Pak Lee dan ibunya. Ingatannya kembali pada kejadian dua hari yang lalu.
Seorang gadis kecil baru saja muncul dari dalam rumah. Ia tak sengaja mendengar Hanbin batuk dan mulai mendekatinya. Gadis itu menepuk-nepuk punggung Hanbin dan bertanya khawatir. Tapi Hanbin langsung menepis tangan Hayi dan mengusirnya.
Hayi sempat tersentak melihat sikap kasar Hanbin. Namun dia tak mau pergi dan mengira kalau Hanbin sedang sedih dan merasa kehilangan karena neneknya meninggal. Padahal ia pikir selama ini hubungan Hanbin dan neneknya tidak dekat. Hayi menasehati Hanbin untuk berhenti menangis. Karena nenek tidak akan pergi dengan tenang jika dia terus menangis.
Hayi menepuk-nepuk punggung Hanbin lagi. Hal itu membuatnya kesal dan langsung berdiri. Dia berteriak kesal pada Hayi yang sok tahu.
"Bagaimana orang sepertimu bisa mengerti? Jangan bertingkah seperti kau tahu segalanya! Kau pikir siapa kau?!" teriak Hanbin dengan hidung memerah.
"Apa maksudmu? Kau berpikir siapa aku? Aku adalah temanmu." Hanbin sempat tersentuh oleh ketulusan Hayi, tapi saat itu ia sedang labil.
Hayi meyakinkan Hanbin bahwa dia temannya. Meskipun Hanbin saat ini bersikap kasar padanya, tapi Hayi tetap menganggapnya sebagai teman. Hanbin semakin kesal karena Hayi menyinggung-yinggung bahwa mereka adalah teman. Padahal disisi lain ada rahasia yang tidak diketahui gadis kecil itu tentang ayahnya.
Hanbin sudah mengetahui kenyataan yang tidak pernah dia harapkan dan bayangkan, bahwa orang yang dipanggilnya ayah selama 8 tahun, ternyata bukan ayah kandungnya. Dan anak kecil yang berdiri di hadapannya sekarang, ternyata adalah adik perempuannya.
Hanbin menumpahkan semua kekesalannya pada Hayi. Ia sudah tidak tahan, air matanya mengalir. Dia menangis sedih, lalu kembali duduk dan menundukkan kepala, mencoba menyembunyikan gundah hatinya. Bibi Jung melihat dua anak kecil itu dari kejauhan, dia khawatir pada kondisi psikis Hanbin.
Jiyong, Yoona, dan Donghae terkejut melihat Hayi yang memapah tubuh Hanbin memasuki rumah. Yoona sangat khawatir melihat Hanbin yang terlihat lemas dengan wajah pucat. Hayi menjelaskan kalau Hanbin sedang sakit dan badannya panas.
Jiyong menyuruh Donghae untuk mengurus dan menjaga Hanbin, kalau perlu membawanya ke rumah sakit. Donghae mengerti, lalu menggendong Hanbin. Yoona menatap sinis pada suaminya. Entah mengapa ia merasa semua masalah yang muncul dalam hidupnya, berawal dari pria itu.
Di kamar Hanbin, Donghae dan Yoona menjaganya. Wanita itu merasa tidak kuat lagi dan ingin menyerah. Dia masih merasa bersalah atas kematian nenek. Yoona mengajak Donghae untuk berhenti dan keluar dari rumah itu, lalu hidup bahagia bertiga dengan Hanbin di rumah mereka sendiri.
Tapi pria itu memotong kata-kata Yoona dan menanyakan apakah dia akan bisa hidup tenang dengan seperti itu dan apakah dia tidak akan menyesali keputusannya. Disisi lain, Donghae sendiri juga berat jika harus meninggalkan Hayi. Apalagi putri kecilnya sering sakit-sakitan.
Yoona menitikkan air mata. Donghae hanya bisa menghela nafas dan kembali menguatkannya agar tidak menyerah karena dia adalah ibu Hanbin, jadi dia harus kuat. Donghae rela menjadi bayangan yang akan terus mengikuti dan juga melindungi mereka.
Sementara itu, Hanbin ternyata tidak tidur. Dia mendengarkan percakapan dua orang itu. Dadanya sesak mengetahui kenyataan pahit yang harus ia terima. Dia masih terlalu kecil untuk menanggung masalah serumit itu.
YOU ARE READING
✔ Beauty & The Jerk
Fanfiction[BINSOO STORY] Jisoo selalu kesulitan menggambarkan sosok Hanbin. Kesempurnaannya terbungkus rapi hingga membuat siapa saja yang melihat tak akan menyangka jika pria itu menyimpan kotak hitam didalam rongga hatinya. Bahkan ikatan pernikahan tak mamp...