Bagian 38. Perih

98 5 0
                                    

Acara pemakaman keesokan harinya dihadiri oleh banyak kerabat dan sahabat juga tetangga-tetangga sekitar kompleks. Semua tidak menyangka Dokter Azzam begitu cepat meninggalkan mereka. Vania ikut mengantar suami tercintanya sampai ke tempat peristirahatan terakhir dan hingga acara pemakaman selesai Vania belum mau beranjak meninggalkan makam Dokter Azzam. Setelah dibujuk oleh Bunda dan Ibu barulah Vania mau meninggalkan lokasi pemakaman. Namun setibanya di rumah bunda, Vania jatuh pingsan lagi saat memasuki kamar Dokter Azzam yang belum pernah dimasukinya sebelumnya. Kamar yang akan mereka tempati saat cuti Dokter Azzam selesai. Banyak kenangan di kamar itu. Album foto masa kecil dan foto pernikahan mereka terpampang di dinding putih yang mendominasi kamar Dokter Azzam.

Setelah Vania siuman Bunda menawari Vania untuk pindah ke kamar bunda, namun ditolak oleh Vania. "Gak apa-apa Bunda, Vania di sini saja.. kemarin itu Vania ingin ikut ke Bandung tapi dilarang sama mas Azzam.. padahal Vania ingin menata kamar ini supaya saat pindah kesini barang-barangnya sudah siap" Vania berucap sedih, teringat kembali kata-kata Dokter Azzam yang melarang dirinya ikut ke Bandung.

"Jangan pernah menyesali yang sudah terjadi anakku,, semua sudah ditetapkan Allah.. yang perlu kita lakukan sekarang.. bangkit dan kembali melanjutkan hidup.. Azzam pasti tidak suka Vania bersedih.. jangan lupa untuk mengirimkan doa setiap saat" Suara lembut bunda semakin menguatkan Vania, Vania membalas pelukan Bunda..

"Ijinkan Vania memeluk Bunda, Vania kangen banget dengan mas Azzam Bunda,,, hiks" Vania terisak kembali namun kali ini sudah lebih tenang dibanding sebelumnya. Kak Rima yang menyaksikan jadi ikut terisak.

"Iya sayang, silahkan peluk Bunda.. Bunda senang sekali ketambahan satu putri lagi yang cantik dan sholeha" Bunda mengecup kepala Vania, persis seperti yang selalu dilakukan mas Azzam kepadanya.

"Terima kasih Bunda.." Vania sangat bersyukur dirinya banyak memiliki keluarga yang begitu mencintainya.

"Hafidz anak sholehnya Bunda, salim dulu sama aunty Vania sayang" kak Rima berkata pada Hafidz yang saat itu sedang berada dalam gendongannya.

Vania menoleh dan tersenyum saat melihat ternyata di kamarnya sudah ada kak Rima dan Hafidz ponakan tersayangnya.. "Ooohh sini sayang, digendong aunty dulu.. aunty kangen sama Hafidz" Vania menjulurkan lengannya untuk mengambil Hafidz dari gendongan kak Rima.

Melihat Hafidz, Vania jadi sedih.. mereka belum dikaruniai anak mas Azzam sudah meninggalkannya. Namun Vania berusaha menguatkan kembali hatinya, masih ada secercah harapan di hati Vania bahwa Allah akan mengabulkan keinginan mereka. Cita-cita mereka memiliki keturunan yang sholeh dan sholeha. Yaa Allah berikan kami anak keturunan yang sholeh dan sholeha.. aamiin.. Doa Vania dalam hati sambil mengelus perut rampingnya.

Kehadiran kak Rima dan Hafidz cukup menghibur Vania, membuat Vania bisa tersenyum kembali. Hal yang tidak tampak selama dua hari ini. Kak Rima senang melihatnya. "Vania kalau kamu pengen main dengan Hafidz ikut ke rumah kakak saja dulu" tawar kak Rima pada Vania, berharap agar Vania bisa segera melupakan kesedihannya.

"Gak usah kak, Vania di sini saja dulu.. nanti kalau kangen Hafidz Vania main ke rumah kakak.. kasian Ayah dan Bunda kak, mereka pun pasti sangat sedih dengan kepergian mas Azzam, Vania tidak boleh egois" ucap Vania sambil berusaha tersenyum. Vania sadar bahwa dia pun harus menghibur Ayah dan Bunda juga Nurul saudari tercintanya.

" Baiklah Vania, kakak senang kamu berusaha untuk kuat.. percayalah ada hikmah di balik semua peristiwa ini. Allah tidak membebani hambaNya dengan persoalan yang hamba itu sendiri tidak sanggup memikulnya" Sambil berkata kak Rima mengelus bahu Vania dan memeluknya erat. Hafidz yang terjebak di antara pelukan Bunda dan aunty ikut pula memeluk Vania. Hafidz pun paham bahwa aunty tercintanya sedang bersedih.

Di Antara Dua AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang