Bagian 43. Tirai Kalbu

99 6 1
                                    

Aldi menitipkan sebuah surat untuk Vania pada Aini yang saat itu sedang berada di ruang asisten. Surat yang sempat ditulis Aldi sesaat setelah keluar dari ruangan Vania. Aini pun bingung dibuatnya, mengapa tadi gak diomongin langsung ke Dokter Vania yaa? Tanya Aini dalam hati, Ah.. sudahlah bukan urusanku.

Langkah Vania terhenti saat Aini menyerahkan surat Aldi. Vania pun berbalik kembali menuju ruangannya. Rasa penasaran akan isi surat Aldi memaksa Vania untuk segera membacanya.

Bismillaah..

Dear Vania Khairani Arsyad

Bahagia rasanya hari ini bisa bertemu denganmu Nia. Terima kasih sudah mau menerima kunjunganku. Sejak pertemuan kita kemarin, rasanya tidak sabar aku menunggu hari ini. Betapa beratnya aku menahan keinginan untuk mengobrol denganmu kemarin, kepergian Om Dani yang tiba-tiba tentu membuatmu terpukul dan berduka. Aku bisa melihatnya di matamu saat kita berada di Rumah Sakit. Tidak ingin rasanya aku menambah kesedihanmu dengan pertemuan kita.

Banyak hal yang ingin aku ceritakan ke kamu, namun ternyata tidak semudah yang aku bayangkan. Aku harus tahu diri dan menjaga nama baik kamu, meski sebenarnya dari hati yang paling dalam begitu besar keinginanku untuk memelukmu, mengobati rindu yang selama ini kurasakan. Yaa.. tiga tahun di sana ternyata tidak sanggup menghapus rasa cinta di hatiku. Rasanya sakit saat melihat cincin yang melingkar di jari manismu, yang aku tahu pasti di sana terukir nama Dokter Azzam, suami yang begitu mencintaimu. Namun aku tidak boleh egois, aku harus ikhlas menerimanya.. Maaf Nia, isi surat ini pasti membuat kamu tidak enak.. setelah ini suratnya dirobek saja.. aku harus menghargai suami kamu sebagaimana aku pun ingin dihargai jika berada di posisi yang sama.

Terima kasih untuk waktunya Nia..

ALDI..

Tak kuat menahannya, air mata Vania akhirnya tumpah. Semakin lama justru semakin menjadi. Berkali-kali Vania mengusap air matanya, berkali-kali pula air matanya tumpah. Yaa Allah, maafkan aku Aldi.. maafkan aku yang telah menyakitimu. Kamu harus kuat dan harus bisa lupain aku, kamu harus bisa menerima dan membuka hatimu untuk gadis lain.. yang pasti sudah Allah siapkan sebagai pendampingmu kelak. Vania berucap sendiri di tengah suara isaknya yang belum juga reda. Sambil mengelus cincin pernikahan yang tidak ingin dilepasnya meski sang pemilik nama yang terukir di sana telah pergi untuk selamanya.

Hampir setengah jam, Vania tertunda kepulangannya. Vania segera mengambil air wudhu dan membuka mushaf kecilnya, menyegarkan kembali wajah dan pikirannya melalui bacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Alhamdulillah, Allah sungguh Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sejak kepergian Dokter Azzam Vania senantiasa menenangkan dirinya dengan tadarrus Al Qur'an. Kebiasaan yang juga tidak pernah ditinggalkan oleh Dokter Azzam selama dua hari mereka hidup bersama.

Aldi segera menghidupkan mesin mobil saat melihat Vania keluar dari Lobby Rumah Sakit menuju ke sebuah mobil yang terparkir tidak jauh dari mobilnya. Akhirnya kamu keluar juga Nia, hampir sejam aku menunggu kamu di sini. Aldi berucap syukur. Maaf aku harus mengikuti kamu hari ini, sebelum aku kembali ke Jakarta.

Tidak berapa lama mobil Toyota Yaris berwarna putih itu segera bergerak meninggalkan Rumah Sakit menuju ke sebuah Klinik di daerah pertokoan di pusat kota Bandung. Apakah Vania kerja di sini juga? Benar-benar wanita karir. Tebak Aldi penasaran.

Oh tidak ternyata, Vania kesini hanya untuk menjemput seseorang. Di depan klinik sedang berdiri seorang gadis yang juga berkerudung lebar seperti Vania bersama seorang anak kecil yang kira-kira berumur dua tahun. Anak laki-laki itu segera digendong Vania setelah sebelumnya dicium dan dielus pipinya oleh gadis yang menemaninya. Apakah itu anak Vania? Aldi bertanya-tanya. Kalau melihat gerak gerik Vania sepertinya memang anak itu adalah anak Vania.

Di Antara Dua AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang