Seolah terburu waktu Seya kembali memacu langkahnya lebih cepat lagi. Sudah hampir satu minggu ia ada di Seoul untuk sesuatu yang begitu penting dalam hidupnya. Sekali waktu bersama langkahnya yang tergesa ia melirik arloji yang bertengger di pergelangan tangannya. "Hhh...semoga aku tak terlambat." gumamnya pelan, lalu berlari menyebrang jalan ketika lampu merah untuk pejalan kaki berubah warna menjadi hijau.
Bruk!
"Ah maaf...maafkan saya." Seya membungkuk meminta maaf ketika ia tanpa sengaja menabrak seorang pria memakai hodie lengan panjang berwarna abu-abu lengkap dengan masker hitam yang menutupi mulut dan hidungnya "Saya sedang terburu-buru maaf...." ia membungkuk sekali lagi sebelum kembali bergegas meninggalkan pria itu yang masih menatap ke arahnya.
Sesaat kemudian sang pria melangkahkan tungkainya sebelum akhirnya berhenti saat netranya menangkap satu benda tergeletak di jalanan aspal. Ia memicingkan matanya lalu menunduk mengambil benda itu yang ternyata sebuah gelang dari emas putih. Sang pria berhodie yakin gelang cantik itu milik wanita yang menabraknya tadi.
Segera diambilnya benda itu lalu dengan serta merta ia mencari keberadaan sosok wanita yang menabraknya, tapi sayang wanita itu sudah tak ada lagi. "Sayang sekali." gumamnya sambil melanjutkan langkah kakinya dan memasukkan gelang di tangannya ke dalam saku celananya.
Nafas Seya masih terengah-engah ketika kakinya menginjak halaman depan gedung itu. Bergegas ia masuk lalu mendorong pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. "Kau datang?" seorang pria menyapanya dengan senyuman hangat. Seya pun tersenyum menatap pria berkaca mata dengan senyum manisnya itu. Jas putih dan stetoskop tergantung dilehernya.
"Ibu bagaimana, Jae oppa?" tanya Seya.
"Ibumu baru saja minum obat, sekarang dia sedang duduk di taman, sepertinya menunggumu." jawab Jaehan sang dokter muda.
"Baiklah, terimakasih, oppa."
Jaehan hanya tersenyum lalu menepuk pundak Seya ringan "Bersabarlah." bunyi hentakan sepatunya pun menyapa indera Seya, pria muda itu melangkah pergi meninggalkan Seya menuju ruangannya.
Sesaat kemudian Seya pun sudah tak tampak di lobi utama rumah sakit itu. Ia telah melangkah pergi menuju taman belakang rumah sakit di mana pasien-pasien seperti ibunya di rawat. Secepat kilat ia menemui ibunya sebelum sakit wanita itu kambuh lagi.
"Ibu," panggilnya sembari berjalan mendekat "Boleh ikut duduk?" wanita paruh baya itu mengangguk lemah, kemudian kembali menatap lurus ke depan mengabaikan keberadaan Seya di sisinya.
"Ibu sudah makan?" Seya berbasa-basi, karena ia tau, jika dokter Jae bilang ibunya sudah minum obat maka itu artinya ibunya sudah makan. Sesaat kemudian sang mama mengangguk. "Ibu tau, mulai besok aku sudah bisa bekerja di Seoul, jadi aku bisa selalu ada buat ibu." ia menatap ke arah yang sama dengan ibunya, ke arah pohon sakura yang baru saja ditumbuhi dedaunan setelah melewati musim gugur.
"Kau tinggal di mana?" mata sayu wanita umur lima puluh tahunan itu menatapnya sayu. Seya tersenyum hangat membalas tatapan ibunya "Tenang saja, aku dapat mes dari perusahaan, lagi pula tiap malam aku akan menemani ibu di sini, jadi aku tak butuh tempat tidur lain."
Sang mama tersenyum kaku, merasa bersalah pada dua putri kembarnya, terutama Kim Seya yang terlihat paling terbebani. Seandainya saja ia bisa lebih mengdalikan dirinya waktu itu mungkin semuanya tak akan berakhir seperti sekarang. "Terimaksih." ucap Nara mamanya membuat Seya menitikan air mata haru, ia pun memeluk mamanya. "Ibu pasti sembuh, Seya yakin, jadi ibu harus berjuang, kita berjuang bersama-sama, ya bu."
Nara hanya bisa mengangguk sebagai balasam terakhir atas ucapan anaknya sebelum kantuk menderanya, dan dalam sekejap ia tertidur pulas di pangkuan putrinya. Melihat mamanya yang begitu lemah membuat hati Seya serasa teriris. Tak pernah sekalipun ia berfikir bahwa suatu hari kehidupan keluarganya akan jadi seperti sekarang. Hancur berantakan dengan ayahnya yang menghilang entah kemana bersama wanita selingkuhannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ma Busan Boy
FanfictionAdult 21+, Romance-drama Aku masih ingat saat kau naik pohon mangga lalu jatuh dan menindihku, karena sejak saat itulah kau mencuri hatiku dan kemudian membawanya pergi. Saat kini sayapmu sudah mengepak tinggi mungkinkah kau akan kembali untuk melet...