E S C A P E - 19

776 51 37
                                    

"Semakin sering lo berinteraksi sama gue, lo bakalan semakin tau kalau gue, sebenarnya gak sekaku yang lo pikir, gak sebuat canggung yang orang lain duga."

Scarleta memberikan piring yang satunya, kepada Zharel. Duduk di hadapan laki-laki itu dengan sama-sama bersila, baik Scarleta dan Zharel, kini menaruhi nasi uduk masih berserta dengan kertas minyaknya ke atas piring. "Mungkin, itu jadi hal dasar kenapa lo kepilih jadi ketua bem kemarin," sahut Scarleta seadanya saja.

Sebelum benar-benar menyuapkan nasi ke dalam mulutnya, Zharel terkekeh akan tanggapan Scarleta. "Gue harap, mereka milih gue kemarin, karena pure, bakat dan potensi gue, bukan karena papa dan keluarga gue. Gue harap, mereka milih gue, karena visi sama misi gue yang syukurnya bisa gue capai tujuhpuluh persennya."

"Gak memungkiri, mereka milih lo pasti karena itu juga jadi pertimbangan." Scarleta mulai menyuap nasinya lalu begitu sudah tertelan, bicara lagi. "Secara, gue tanya coba pikir, siapa yang gak tau lo, gak tau keluarga lo, gak tau Rifai di sini?"

Namun alih-alih menjawab Zharel hanya mengangkat bahunya karena fokus dan khusyuk dengan makannya. Terkadang, bukannya tidak senang atau benci pada keluarganya, pada Rifai atau pada kerajaan perusahaan milik papanya, Zharel tidak senang ketika dia dan orang lain non-bisnis membicarakan Rifai karena merasa, dia tidak suka mereka pada akhirnya akan mengatakan, iya lah, bapak lo kaya. Lo lahir, udah dalam keadaan kaya. Rifai Group juga bakal lo kan, yang nanti ambil alih.

Jujur, sebenarnya Zharel tidak suka. Tetapi dia tidak mungkin menutupi diri, tidak berbicara pada siapapun, kan? Makanya selagi bisa menghindari, maka Zharel memilih bungkam seperti sekarang atau mengalihkan topik jika memang dia bisa.

Cukup lama hening diantara mereka karena sama-sama sibuk makan. Tetapi ketika nasi mereka sama-sama setengah piring, Scarleta berdeham. "Arzharel, maaf kalau gue lancang. Makasih udah mau berbagi sarapan lo sama gue, di pagi ini."

Setelah menelan nasinya, Zharel mengangguk. "Selow aja, ngapain makasih segala sama gue. Gak mau tau, nasi di piring lo harus habis dan buat bungkus yang ketiga, kita harus habisin berdua karena ternyata, ini isinya banyak banget, suer."

Scarleta terkikik pelan mendengarnya. "Kenapa maruk banget jadi orang."

"Bukannya maruk," sahutnya membelas. "Gue pikir, gak akan sebanyak ini. Awalnya gue kira, bakalan sama kayak yang di deket gerbang kampus yang dikit."

"Bi Uni, gak dikit nasi uduknya. Bi Uni tuh, terbaik banget pokoknya. Udah enak, banyak terus murah lagi." Kata Scarleta semangat, bagaikan tukang sales saja. "Makanya tadi, gue cukup kaget lo minta dibeliin tiga bungkus. Gak keterlaluan?"

Zharel berdecak seraya menggeleng-geleng. "Perut gue gak segelambir itu." Karena nasi di piringnya dan Scarleta sama-sama mau habis, Zharel mengingatkan lagi pada perempuan itu. "Bungkus ketiga habisin berdua gue gak mau tau, Scarlet."

"Iya, bawel. Salah sendiri kenapa maruk," katanya di sela-sela kunyahan.

Diam-diam, Zharel melihat Scarleta yang khusyuk sekali melihat nasi yang ada di piringnya. Apalagi begitu melihat nasi, lauk dan lalapan, di piring perempuan itu yang hampir tandas. Perempuan itu juga makan dengan lahap. Entah kenapa, dia justru merasa hal aneh akan suatu kenyataan kalau dia sangat senang melihatnya.

Sebelum pikirannya semakin aneh, Zharel kembali melanjutkan makannya.

"Oh ya, Rel. Kalau lo pengin tau, waktu lo nyalonin jadi ketua bem, di waktu itu, gue nyoblosnya lo," ujar Scarleta di sela-sela makannya yang hampir berhasil—membuat Zharel jadi tersedak. Karena takut akan tersedak benaran, buru-buru, laki-laki itu mengambil gelas dan meminumnya seteguk. Sebenarnya, Zharel tidak perlu, sampai sekaget itu. Waktu itu hanya ada dua calon kandidat, wajar saja, kan?

ESCAPE [I] (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang