E S C A P E - 07

886 61 20
                                    

Scarleta sama seperti mahasiswa pada umumnya. Ia memakai kemeja serta celana jeans yang cenderung sopan dan sepatu convers putih yang warnanya lusuh akibat terlalu sering dipakai dan tidak dicuci. Kemeja Scarleta kebesaran karena di bagian lengannya digulung sampai siku, celana jeansnya agak pudar juga tas yang dikenakan gadis itu tidak bermerek sama sekali. Zharel jadi ragu dengan semua.

Tapi pada kenyataannya yang dia lihat di web memang wajah yang serupa. Scarleta yang berdiri di sebelahnya dengan wajah tanpa make up, sama seperti dia, yang ada di web namun bedanya, di web pakaiannya terbuka dan full makeup, tapi saat ini, dia berpakaian seperti mahasiswa biasa serta siapapun yang melihat pasti, tidak akan menyangka kalau sebenarnya perempuan ini banyak uangnya.

Bahkan Scarleta pesan makan di warteg dan hanya tempe orek yang harga menu makanan tersebut, hanya seribu rupiah. Dalam hati, Zharel bertanya tentang, kemanakah uang dari perkerjaan tiap malamnya itu yang sampai sepuluh juta jika, gadis itu berpakaian lusuh dan makannya saja mengambil paling murah di warteg.

Di saat perempuan kebanyakan memilih jadi ayam kampus karena agar dia bisa hedon, pamer kekayaan pada teman-temannya akibat bukan orang kaya tetapi Scarleta yang di dekatnya ini berbeda. Bahkan sepertinya perempuan ini tidak ada geng karena, gadis itu masuk ke warteg sepertinya, sendirian. Pikiran Arzharel ini, membuatnya tanpa sadar menggeleng. "Mana ada geng sosialita makan di sini."

"Nak Zharel, ini pesanannya," ujar Bik Summi si pemilik warteg—sukses, membuyarkan apa-apa saja yang dia duga tentang Scareleta yang masih diam juga menunggu pesanannya dibuatkan oleh Bik Summi. Zharel menerimai piring berisi makanan pesanannya. "Makasih bik, Zharel makan dulu ya," katanya sopan.

Sebelum pergi ke tempatnya duduk, Zharel melihat Scarleta yang tetap ada di posisinya setia, berdiri menunggu pesanannya jadi. Bahkan, ketika sudah duduk seraya mulai makan, Zharel tetap memperhatikan Scarleta. Gadis itu hanya berdiri dan menunggu pesanan seraya sesekali menunduk dan mengetukkan kakinya.

Di tengah kegiatan menunggunya Zharel lihat Scarleta mengeluarkan hape dari saku celana jeansnya dan Zharel tercengang setengah mati melihat hapenya.

"Baru tau gue kalau android gingerbread model X masih ada..." Lagi-lagi Zharel berbicara dalam hati. Andaikan dia sadar kalau kini Zharel malah terlihat... seperti ibu-ibu yang suka ghibah yang ngerumpi karena terus berkomentar tentang bagaimana Scareleta, penampilannya, ponselnya yang menurutnya di luar dugaan.

Seharusnya dengan uang sepuluh juga sekali order, gadis itu bisa memiliki ponsel ternama dengan merek terbaru. Seharusnya begitu, tapi Scarleta ini kenapa, selain pakaian, makanan, tempat makan, ponsel pun bahkan yang super jadul.

"Nih Neng," ujar Bik Summi memberikan sekeresek makanan pesanannya Scarleta tadi, tempe orek doang. "Tadi, Bik Summi kasih telor rebus di bungkusan eneng anggap aja bonus. Atuh da, eneng pesennya, tempe orek doang. Bibi, nggak suka kalau ada pelanggan bibik yang pesennya semenu aja mana laukna ge kitu."

Zharel yang di tempatnya masih mendengari jelas ucapak Bik Summi pada Scarleta, tidak bisa menahan senyum di sela-sela makannya. Bik Summi memang, sebaik itu. Salah satu alasan kenapa Zharel betah dan tak bosan makan di sini.

Scarleta meringis dan mengibaskan tangan tanda sungkan. "Padahal nggak apa-apa, bu. Saya memang lagi pengin makan tempe orek untuk makan hari ini."

Bik Summi mendengus. "Teu ah, neng. Teu bisa kitu!" Bik Summi melihat Scarleta lamat dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Neng teh, geulis pisan. Tapi.. geulis mun begang mah rek naon? Neng nyaho, neng geus kerempeng kieu, dahar saeutik. Kudu loba dahar, neng. Geulis mun begang mah bisi jadi panyakit."

ESCAPE [I] (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang