E S C A P E - 44

582 61 65
                                    

Zharel memegang pelipisnya, yang entah kenapa terasa penat. Batinnya saat ini benar-benar berkecamuk. Sangat sesak begitu mamanya sakit sampai kritis, tapi, papanya benar-benar egois dengan menyuruh Pak Ahmad untuk bilang agar ia bisa pulang namun tidak dengan Scarleta yang harus ikut dengannya. Seketika Zharel di detik ini merasa gemetar. Apa papanya kembali menemukannya seperti waktu itu.

"Maksud Pak Ahmad apa, ya?" Tentu dia harus memastikan sesuatu. "Apa alasan, kenapa Pak Ahmad ngomong kalau saya, nggak boleh ngebawa Scarleta?"

"Karena bapak tahu, pasti aden sekarang sedang sama Scarleta, begitu apa kata bapak, Den. Bapak memang belum tau aden di mana tapi, bapak tau, kalau di tempat aden berada sekarang, pasti aden lagi sama Scarleta," jawabnya tak enak.

Sebelah tangan Zharel yang sedang tidak memegangi ponsel, kini mengepal. Bukan menjadi hal aneh, tapi saat ini Zharel tidak menyangka jika tebakan papanya bisa setepat itu. Papanya bahkan tahu benar dia sedang bersama Scarleta saat ini.

Menarik nafasnya sejenak, Zharel pikir, dia harus memberikan jawaban opsi aman saat ini. "Tapi sayangnya, papa salah. Saya nggak sama Scarleta sekarang."

Tanpa menunggu sahutan dari Pak Ahmad, Zharel mematikan teleponnya.

Dilemparinya ponselnya ke ranjangnya, Zharel menjenggut juga mengacak-ngacaki rambutnya frustasi. Ketika beberapa kali Zharel ikut rapat dengan papanya, banyak sekali rekan kerja papanya yang mengatakan jika papanya orang luar biasa.

Banyak dari mereka yang mengatakan jika papanya bukan tandingan—pada keadaan seperti ini, dia baru sadar jika rekan papanya benar. Papanya, Arzhanka, di situasi apapun dan dengan siapapun bukan termasuk orang yang mudah dikelabui.

Tentu saja melacak dimana keberadaannya dengan Scarleta perkara mudah.

Ponselnya kembali berdering. Buru-buru Zharel mengambili ponselnya. Dia awalnya merasa biasa saja, sebelum melihat kalau ternyata yang meneleponnya saat ini adalah orang dengan kontak di nomor ponselnya bertuliskan, papa. Papanya, dia orang yang bahkan masuk dalam pembicaraannya dengan Pak Ahmad, menelepon.

Laki-laki itu merasa kepalanya menjadi semakin pusing. Menelan salivanya agak kesulitan, Zharel berdeham sebelum mengangkat telepon dari papanya. "Ya?"

Alis Arzharel terangkat. Jujur, mendengari suara papanya, meski hanya satu kata, entah kenapa sangat sukses membuat berantakan seperti ini. Zharel mengerjap untuk menyadarkan diri, menguatkan diri dan menegarkan diri untuk tak menangis.

Hembusan nafas berat Arzha di sebrang sana membuatnya sakit. "Mamamu, sampai saat ini belum sadar. Pulang." Tanpa sadar, air mata Zharel menetes, laki-laki itu tidak kuasa untuk menahannya. "Mamamu kritis, keadaannya memburuk."

Zharel mendongak melihat ke langit-langit kamarnya agar air matanya tidak banyak keluar pasalnya laki-laki itu sudah cukup merasa sakit, sudah terlalu banyak menangis, sudah terlalu sering terjerumus kesedihan begitu ingat keadaan sekarang.

"Zharel pulang. Datang ke rumah sakit, tapi tinggalin perempuan itu, kamu jangan pernah ketemu atau punya hubungan apapun sama dia, gak peduli apa itu."

Pilihan yang berat. Tanpa sadar Zharel menggeleng. "Aku ke rumah sakit..." "Tapi nggak dengan Scarleta yang ikut kamu. Pegang apa kata papamu."

Laki-laki itu meringis, berharap papanya di sebrang sana tidak sadar saat ini sebenarnya dia sedang menangis. "Aku nggak bisa ninggalin dia sendirian di sini."

ESCAPE [I] (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang