E S C A P E - 25

634 50 22
                                    

Selama menata hidupnya sampai di detik ini, sebenarnya pernikahan tak ada di dalam daftarnya ketika dirinya, masih berumur 22 tahun. Pernikahan, pertemanan dekat dengan lawan jenis, masih belum menjadi rencananya. Zharel masih memiliki keinginan untuk berkuliah sampai doktoral kalau ada kesempatan, backpacker pergi keliling Indonesia atau pergi ke daftar negara yang ingin dia kunjungi sendirian.

Ketika papanya bilang begitu Zharel merasa sedikit terbebani. Dia tidak bisa menolak mengingat, toh, sebenarnya ini belum apa-apa dan hanya perkenalan biasa, selayaknya dia berkenalan dengan seorang teman mungkin. Hanya saja, teman jenis ini berbeda, mengingat bisa saja seseorang ini menjadi isterinya kelak, teman hidup, andai kata mereka sama-sama cocok, andai kata mereka sama-sama jatuh cinta.

Yang jadi masalahnya di sini adalah, Zharel masih tidak ingin jatuh cinta.

Baginya, cinta bisa merusak. Baginya, cinta bisa menggoyahkan bahkan, itu juga bisa menghancurkannya. No offense, tidak adal hal traumatis, atau pengalaman buruk, yang membuatnya berpikir seperti ini. Dia memiliki figur cinta, yang sangat-sangat baik dari orang terdekatnya. Papa dan mamanya sampai di usia segini saja—masih sangat romantis sampai-sampai papanya ada pikiran menambah anak. Ketiga keluarga omnya pun, masih sangat-sangat harmonis sampai sekarang ini bahkan.

Karena anak sulungnya itu diam saja, Arzha yang melihati Zharel yang kini, malah melamun. "Bang, mau nggak? Ini cuman perkenalan biasa aja, kok. Papa gak mau ngejodohin kamu sama kolega papa, kalau kamunya, memang dari awal secara jelas udah menolak perkenalan ini, bang," ujar Arzha lembut, memberi pengertian.

Zharel mendesah pelan dan tersenyum pada papanya. "Hanya perkenalan?"

"Hanya perkenalan," sahut Athaya yang di sebelahnya Zharel dengan cepat. "Kamua hanya ketemu sama anak koleganya papa, kalian kenalan, udah selesai."

"Dan andai kata kalian cocok, papa sama mama nggak masalah kalau-kalau kalian melanjutkan hubungan kalian jadi ke arah, yang serius," sahut Arzha mantap.

Arzha tahu jika isterinya kini tengah menatapnya. Tapi Arzha mengabaikan, memilih untuk kembali, menghabiskan makan malamnya. Atha yang sepertinya tak bisa menerima dan dirinya sendiri, sangat mendukung perkenalan ini sebenarnya.

Karena sebagai papanya, Arzha yakin kalau Zharel akan menyukai anak dari koleganya. Tadi saat sore, Arzha dan Atha juga bahkan sudah melakukan video call via Skype dengan anak koleganya, yang dia niatkan, berjodoh dengan Zharel. Tidak mengecewakan, justru anak koleganya membuatnya bangga. Arzha yakin, Arzharel anaknya pasti akan menyukai juga gadis itu. Atha juga berkata demikian saat itu.

Namun sebagai mamanya, Arzha pun mengerti jika Athaya memiliki sedikit kekhawatiran. Arzha bisa maklum dengan itu. Atha tidak ingin, anaknya bisa-bisa... jadi salah memilih pasangan yang parahnya, itu karena dari tangan mereka sendiri.

Melihati Zharel yang mengangguk, Arzha mendesah lega. "Ya udah. Zharel, mau kenalan sama anak koleganya papa. Kapan harus ketemu dan di mana, pah?"

"Minggu depan, di kedai kopi, deket kampus kamu," sahut Arzha seraya dia tersenyum karena merasa senang. "Anak kolega papa itu, pencinta kopi. Papa harap, kamu nggak keberatan kalau kalian ketemunya di sana. Gak apa-apa kan, bang?"

"No problem, Zharel juga suka kopi dan udah lama juga nggak ke sana."

"Oke, nanti papa bakalan bilang ke anak kolega papa. Nomor kontaknya dia bakalan papa kirim ke chat kamu ya, bang. Biar nanti minggu depan, begitu ketemu, nggak bingung banget. Sekalian kamu obrolin ke dia, jam berapa kalian ketemuan."

ESCAPE [I] (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang