E S C A P E - 41

618 63 89
                                    

Warn, chap ini banyak mengandung clue untuk cerita Rifai Sequel selanjutnya





Sepertinya segala sesuatu yang menyangkut Zharel selalu berhasil membuat Scarleta terpukau. Bagaimana tidak? Lagi-lagi, Zharel benar-benar tidak bisa untuk dia tebak meski bukan hanya sekali lihat. Dari semenjak laki-laki itu tanpa permisi masuk ke dalam hidupnya, ternyata Zharel tidak seperti yang dia bayangkan juga.

Setelah cukup lama mereka di dalam mobil di lapangan luas, tiba-tiba tanpa tedeng aling-aling, Arzharel mengajak Scarleta untuk masuk ke sebuah rumah besar di atas bukit sana. Tentu saja Scarleta melotot sempat berpikir kalau Zharel pastinya ngawur efek terlalu sedih atau mungkin depresi karena sudah diusir orangtuanya.

"Tapi, itu beneran rumah gue. Ke sana aja, gue pengap lama-lama di sini."

Bahkan gembok pagarnya sesuai dengan yang Zharel punya, pintu utama di rumah besar ini juga terbuka ketika Zharel membuka kuncinya. Bukti konkrit yang sudah cukup menunjukkan kalau rumah besar di atas bukit dekat lapangan ini benar rumah laki-laki ini. Kembali Scarleta bertanya, laki-laki ini sebenarnya sekaya apa?

Begitu masuk ke dalam rumah, bisa Scarleta rasakan, jika rumah ini sunyi—terasa sekali rumah hantunya namun bedanya, keadaannya tidak sekotor itu. Dilihat dari luar saja sudah besar begitu masuk, Scarleta merasa rumah ini terasa lebih besar karena efek, blum tersedia juga perabotan di sini. Rasanya kepalanya jadi pusing.

"Maaf kalau agak kotor." Saking kosongnya suara berat Arzharel yang tidak keras itu sampai bergema di seluruh ruangan. "Gue terakhir ke sini, waktu kelulusan SMP sama almarhum kakek sama nenek gue dari pihak papa. Liburan bertiga aja." Zharel melihat ke sekitar dan dia hanya mampu tersenyum tipis. "Rumahnya selalu dibersihin sih, tapi seminggu sekali doang. Maaf kalau misalnya lo gak nyaman."

Tanpa sadar Scarleta berdecak. "Santai aja, gue sebenarnya udah kebiasa."

Laki-laki itu terkekeh. "Ya takutnya." Zharel semakin masuk ke dalam yang membuat Scarleta hanya bisa mengikutinya dengan berjalan di belakang Zharel.

"Ada yang pengin lo tanyain ke gue?" tanya Arzharel tiba-tiba seraya duduk pada sofa single di ruang tamu. "Gue tau mungkin lo bertanya-tanya banyak tapi di mobil tadi, gue benar-benar ada di titik terendah gue jadi gue gak banyak cerita. Lo mungkin mau nanya, gak apa-apa. Asal jangan nanya apa alasan gue diusir aja."

Dalam hati Zharel menambahkan. Gue gak mau lo merasa bersalah, Le.

Justru itu yang jadi poin pentingnya. Tapi sekali lagi Scarleta tahu memaksa bukan jalan yang terbaik. Ada yang jadi poin kedua yang ingin Scarleta tanyakan—pertanyaan ini mungkin terdengar tidak sopan tapi, Zharel bilang dia boleh bertanya apapun asal jangan menyangkut alasan mengapa laki-laki itu diusir orangtuanya.

"Sebenarnya, dari sejak lo bawa gue ke apartemen lo waktu kemaren, bener-bener penasaran gue sekaya apa lo,, sampai punya apartemen sebagus itu dan rumah ini?" Scarleta yang masih berdiri di depan laki-laki itu mengedarkan padangan pada seluruh penjuru ruangan yang terkesan sepi. "Bahkan lo bilang ini rumah lo, Rel."

"Ini memang rumah gue apartemen juga punya gue tapi..." Arzharel sejenak merasa ragu untuk mengatakan ini. Tapi sudah kepalang bicara, entah kenapa yakin Zharel kalau Scarleta bukan tipe orang yang akan menilai orang buruk. "Apartemen memang didapet dari uang aset Rifai tapi kalau rumah ini, nenek sama kakek bilang, ini jadi jadi warisan yang mereka kasih ke gue. Tapi keluarga gue yang lain gak tau sama sekali perihal ini. Orangtua gue bahkan nggak tau kalau gue diwarisin rumah."

ESCAPE [I] (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang