E S C A P E - 35

593 50 49
                                    

Ketika Arzha membukai pintu kamar yang menjadi tempat, di mana mereka, bermalam selama di Palembang, sapaan yang hendak keluar dari bibirnya tidak jadi keluar, karena melihat Athaya yang tengah membelakanginya, tengah menelepon—yang Arzha tidak tahu sendiri pada siapa. Maka dari itu, yang Arzha lakukan adalah, masuk ke kamar diam-diam seraya mulai membuka dasi dan juga jas yang dia pakai.

"Bang Zharel, beneran belum pulang, dek?" tanya Athaya terdengar kalut.

Arzha yang tengah membuka kancing kemeja di pergelangan tangannya kini terdiam. Diliriknya Atha sekilas, sebelum kembali melanjutkan niatnya mandi. Jadi, jika Tata bilang jika Zharel belum pulang, makan sudah terhitung anaknya itu, sama sekali belum pulang dan ada di rumah, sudah dua hari. Tangannya Arzha mengepal, benar-benar marah mendapati anak sulungnya yang sungguh sudah kelewat batas.

Terdengar isakan isterinya. "Dek, mama sama papa baru bisa pulang besok. Kalau besok abang belum pulang juga, papa sama mama bakalan laporin polisi."

"Dek, baik-baik di rumah sama Bang Zharo, ya. Besok lagi cari abangnya."

"Bilangin ke Bang Zharo, jangan gegabah. Nanti kita cari abang sama-sama. Bang Zharo jangan sampai ninggalin kamu di rumah sendiri, besok kita pulang."

Setelah itu, Athaya mematikan sambungannya dengan anak bungsunya juga sedikit terkejut, mendapati Arzha sudah pulang dan hanya menatapnya datar, benar-benar tanpa ekspresi. Arzha membuang nafasnya sejenak lalu mengambil baju tidur miliknya di dalam koper. Diam-diam, Atha merasa bersalah karena pasalnya, ia tak sadar jia suaminya sudah kembali dari rapat dan mereka, tidak dalam suasana yang baik dari semenjak Zharel menghilang. Mendadak, semuanya jadi terasa canggung.

Dengan ragu, Atha mendekati suaminya. "Zha, maaf. Aku tadi telepon Tata, buat nanya apa Bang Zharel udah pulang atau belum tapi ternyata belum pulang."

Suaminya hanya diam tidak menanggapi. Arzha malah membawa baju tidur yang tadi dia ambil dan masuk ke kamar mandi membuat Atha buru-buru mengekor suaminya yang hendak masuk ke kamar mandi. "Zha, aku minta maaf. Maaf, karena aku gak tau kamu bakal pulang secepat ini. Air buat mandinya belum aku siapin."

"Nggak perlu, aku mandi pake shower aja. Nggak perlu kamu siapin air."

Belum sempat Atha bereaksi, Arzha sudah masuk ke kamar mandi. Dia kini, benar-benar terhenyak. Baru pertama kalinya, seingatnya selama 25 pernikahannya, mendapatkan tanggapan sedingin ini dari Arzha. Meski tidak ingin menangis, tetapi kali ini, Atha benar-benar membiarkan air matanya tumpah, ia menangis tergugu.

***

Sebenarnya Arzha tidak tahu, siapa yang salah di sini. Atha kah, atau di sini, yang salah adalah dirinya? Sama seperti malam sebelumnya, sekarang waku sudah menunjukkan pukul satu dini hari tapi Arzha tiba-tiba terbangun. Arzha mengusapi wajahnya yang terasa kusut karena pikirannya dan apa yang terjadi sekarang. Arzha juga merasa, rasanya semenjak 25 tahun mereka menikah baru sekarang ini, mereka rasa-rasanya menjadi sedingin ini, se-canggung ini dan se-berantakan ini, mungkin.

Dia bahkan sengaja tidur lebih awal supaya tidak terlibat situasi, yang sudah sama-sama mereka sadari tidak enak diantara mereka. Di pukul satu dini hari seperti sekarang, sudah jelas Atha tertidur. Bahkan, isterinya itu tidur membelakanginya.

Arzha membuang nafas pelan. Baru saja dia terduduk di pinggir jalan, suara getar ponselnya yang berada di atas nakas di sebelah ranjang tempat dia duduk tiba-tiba berdering, membuat Arzha buru-buru mengambil dan mengangkat teleponnya.

"Hallo, ini siapa?" tanya Arzha basa-basi. Arzha berdeham sejenak. "Kamu, di sana benar-benar nggak punya jam untuk buat kamu tahu waktu sekarang ini?"

ESCAPE [I] (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang