E S C A P E - 28

644 50 44
                                    

Zharel memberi helm penumpang yang memang sudah niat dibawanya pada Scarleta. "Meski udah shubuh begini dan jalanan sepi, gue nggak mau, bertanggung jawab kalau misal, lo oleng jatuh ke aspal terus, kepala lo bocor, ya," ujarnya seraya tertawa kecil, efek merasa konyol atas perkataannya sendiri. Kadang sereceh itu.

Perkataan Zharel yang nyeleneh itu tentunya sukses membuat Scarleta tidak bisa untuk tidak mendengus. Buyar sudah lamunannya karena melihat Zharel. Agak merasa menyesal karena bisa-bisanya, dia merasa rindu pada laki-laki ini. Andaikan bisa, Scarleta jadi ingin menariki, rasa rindu itu. Namun, mau berapa kali dia berniat memunafikkan diri pun, tetap saja tidak bisa dipungkiri kalau ternyata dia rindu.

Manut, Scarleta memakai helm yang disodorkan Zharel. Bersamaan dengan laki-laki itu, yang kembali duduk di motornya dan menghidupi mesinnya. "Kenapa, harus gue yang nemenin lo stargazing? Kenapa lo nggak sama temen lo aja, sih?"

"Banyak omong," cibir Zharel. Dia mengedikkan dagu, mengkode Scarleta, naik ke motornya. "Kalau gue, ngejawab pertanyaan retoris lo, bisa-bisa, kita masih di sini sampe shubuh. Yang ada, gue gak jadi stargazing. Ayo cepetan naik, Le."

"Bawel," balas Scarleta mencibir laki-laki itu. Berpegang pada bahu Zharel, Scarleta naik ke atas motor ninja milik laki-laki itu, yang menurutnya, cukup tinggi. Kalau perempuan itu pikir-pikir lagi, baru kali ini dia diboncengi oleh Zharel. Baru menjadi kali pertama dan tidak bisa dipungkiri, kalau sebenarnya dia berdebar yang mana, debaran ini jauh lebih gila dibandingkan saat dia sadar jika dia, rindu Zharel.

Tidak punya pilihan lain, daripada takut kewalahan, dengan debaran jantung yang dimilikinya sendiri, Scarleta memegang ujung jaket hitam Zharel. Terkutuklah Zharel dan motor ninjanya, membuat Scarleta tidak tahu harus berpegang pada apa.

Ketika Zharel membawanya ke jalan besar pun, Scarleta masih berpegangan pada ujung jaket Zharel, meski laki-laki itu, mulai menaikkan kecepatan motonya—efek jalanan sangat lenggang dini hari ini. Dalam hati, Scarleta hanya bisa berdoa.

"Le, pegangan!" teriak Zharel. "Nanti lo jatuh. Gue gak mungkin bakal jalan pelan-pelan kalau jalannya lenggang begini," katannya Zharel lagi cukup keras.

Karena jujur, sebenarnya dibalik perkataan sarkasnya tadi, Zharel khawatir.

Tanpa memberikan kesempatan Scarleta, untuk memprosesi informasi yang baru dia terima sebelah tangan Zharel sudah menarik sebelah tangan perempuan itu, mengarahkan sebagaimana harusnya tangan Scarleta berada saat ini, di momen ini.

Di dalam keadaan dimana perempuan itu memeluk Zharel. Dan tentu semua juga tahu kalau pada akhirnya, Scareleta akan sangat membenarkan jika ditanyakan, apa dia nyaman dengan situasi ini atau tidak. Rasanya hangat dan nyaman, rumah.

***

Motor Zharel berhenti di sebuah tempat paralayang, dekat dengan kebun teh indah yang menyajikan pemandangan citylight Kota Bandung. Jujur, ini adalah kali pertamanya datang ke sini. Tempat sederhana yang ampuhnya dalam sekejap, sudah bisa membuatnya, jatuh cinta. Tempat bernaung di sini, bahkan hanya sebuah saung dari gubuk dan juga gerobak pedagang yang sepertinya memang sengaja ditinggal.

Scarleta buru-buru melepasi helmnya dan memberikannya pada Zharel. Dia berjalan menuju ujung jurang landai, untuk paralayang, untuk mengangumi suasana ini. Tidak menyesal juga dia, menuruti keinginan Zharel yang membawanya ke sini.

Tidak lama, terdengar suara kekehan di sebelahnya. "Bisa gue liat kayaknya lo nggak menyesal, karena, udah gue bawa ke sini. Iya, kan?" Zharel bertanya, yang bertujuan memang sengaja hanya untuk menggoda perempuan di sebelahnya ini.

ESCAPE [I] (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang