E S C A P E - 10

945 68 75
                                    

Begitu pelanggan di hadapannya ini, membukakan maskernya, Scarleta tak bisa untuk tidak tercekat melihat siapa pemuda di hadapannya ini. Diantara semua anak kampus, laki-laki kampus yang membookingnya dia tidak menyangka kalau, Arzharel Keenandrey Rifai yang dia tahu siapa, yang menjadi pelanggannya. Bagi Scarleta terkejut saja mendapati Zharel yang merupakan orang penting dan pernah menjabat menjadi ketua BEM kampus, malam ini menjadi sesosok pelanggannya.

Zharel mengangkat sebelah alisnya melihat mata Scarleta yang kini tengah membelalak menatapinya. "Kenapa? Lo kaget, karena gue yang booking lo malam ini?" tanya Zharel yang kali ini sudah tidak bisa menahan dengusannya karena dia dihadapi dengan ekspresi Scarleta yang terkejut namun polos—meski dia tau tidak polos. Dengan perkerjaannya yang begini, apa Scarleta masih dikatakan polos?

Scarleta mengerjapkan mata dan mengalihkan pandangan. "Jadi ini alasan, kenapa lo nggak mau di Rifai hotel?" gumamnya yang masih bisa Zharel dengar.

"Lo pikir?" tanya Zharel sinis. Laki-laki itu, menyilangkan tangan di dada. "Kalau lo bilang gitu, berarti lo tau gue? Apa di warteg lo juga nyadar itu gue?"

Laki-laki itu yang mengatakan warteg, membuat Scarleta mengingat lagi.

Sebenarnya, Scarleta tahu itu Zharel. Tapi apa harus, dia menyapa dan cari muka di saat mereka sebenarnya tidak kenal sama sekali? Dia tahu jika itu Zharel.

Tahu kalau perempuan di depannya ini tidak mau mengaku Zharel kembali melihat perempuan itu. "Gue udah buka masker gue. So, tunjukin ke gue yang tadi lo bilang, lo selalu dapet bintang banyak dan review bagus dari pelanggan lo."

Masih meremas baju piamanya, Scarleta memalingkan wajah. "Gue harap, lo tarik perkataan lo tadi Zharel, kalau lo sendiri nggak mau nyesel setelahnya."

"Nyesel?" Rasanya laki-laki itu ingin tertawa, tapi sebisa mungkin ia harus bisa menahannya. "Bukannya di sini lo yang seharusnya nyesel? Lo tau nggak sih, kalau dengan perkerjaan lo ini, lo selalu dibuat nyesel setiap saat? Kita laki-laki di sini asal lo tau sama sekali nggak ngerasa dirugiin," jelas Zharel dengan dingin.

Masih tak mau mendongak melihati wajah Arzharel, Scarleta mengatakan, "Gue pikir, ini semua kita batalin aja. Lo harusnya mikir dulu sebelum booking."

"Gak kebalik?" tanya Zharel seraya mendekati gadis itu yang sialannya tak tahu kenapa, Scarleta malah merasa jika posisinya terancam. "Gue udah manjat ke kamar kos lo, dan lo mau batalin gitu aja? Gak nyesel gak dapet duapulu juta?"

Kali ini Scarleta memberanikan diri untuk melihat Zharel. "Lo seharusnya, pikirin dulu hal ini, Rel. Orangtua lo pasti kecewa, temen-temen lo yang tau—"

"Oh, jadi lo bakalan bilang-bilang ke semua orang tentang ini?" tanya laki-laki itu mendominasi. Scarleta bahkan baru sadar, kalau Zharel, sudah benar-benar memerangkapnya dengan sebelah tangan sehingga kini dia sudah sepenuhnya, ada berasandar di pintu kamar kosannya. "Lo mau bilang kalau lo udah dibooking gue malam ini, di kamar kos lo, begitu?" Oh, jika Scarleta main begitu, maka ia bisa.

Sebelum Scarleta menjawab, Zharel sudah berbicara lagi. "Berkat ucapan-ucapan lo, gue jadi tau, kalau hotel bokap gue, ternyata jadi tempat kumpul kebo." Zharel mendekatkan wajahnya pada wajah Scarleta, menatap perempuan yang ada di depannya ini yang menatapnya terkejut, dengan tatapan geli. "Kalau gitu, tanpa lo bisa cegah, gue juga mungkin bisa sebarin ini ke kampus. Lo sama kerjaan lo."

"Jangan!" Teriak Scarleta spontan seraya mendorong Zharel tetapi sayang, laki-laki itu tidak goyah di tempatnya meski sudah didorong. Sebelah tangan laki-laki itu yang tidak memerangkap Scarleta, Zharel pakai, untuk memegangi, tangan perempuan itu, supaya diam. "Jangan berani lo bilang ini ke siapapun, Zharel!"

ESCAPE [I] (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang