Tidak, sebenarnya apa yang ada diinginkan Scarleta sama sekali tak nyata.
Tapi, bagaimana bisa disebut tidak nyata tatkala Zharel merasakan bibirnya, terkena sentuhan hangat yang baru kali pertama dia rasakan juga jarak yang tak bisa dipungkiri, membuatnya kaku. Zharel kalah oleh cepatnya waktu yang bergulir. Dia hanya bisa diam mematung saat di sebelahnya Scarleta langsung mencium bibirnya, seraya mengalungkan tangan di lehernya. Untuk menutup mata saja sulit rasanya.
Saking kakunya, Zharel tak bisa menggerakkan apapun. Dia terlalu terkejut. Apa benar yang tengah mencium bibirnya ini adalah Scarleta. Tidak. Kepalanya, di detik ini seketika pening memikirkan hal yang masih belum bisa dia mengerti. Sama sekali tidak tahu apa yang harus dilakukan di saat Scarleta sendiri hanya berdiam—menempelkan bibirnya di sana tanpa melakukan pergerakkan apapun yang berarti.
Beberapa detik kemudian Scarleta melepaskan tanpa melepaskan jarak yang ada diantara mereka. Pada detik itulah Zharel baru bisa mengerjapkan matanya, dan perih, baru disadarinya akibat sudah berapa detik tidak mengedipkan mata. Scarleta yang masih berada di hadapannya hanya menatapnya sendu tanpa arti, ia bingung.
Andaikan ada seseorang yang melihat di sini, ingin Zharel bertanya apa saja, yang sebenarnya terjadi di sini, kenapa mereka begini dan, bagaimana bisa juga?
"Maaf," ucap Scarleta seraya menunduk. "Maafin gue yang udah lancang."
Zharel membuang nafas dengan keras. Dalam hati menerka, ia sudah berapa lama juga terus-terusan menahan nafas? Tidak. Pantas saja, dia tidak bisa berpikir.
Laki-laki itu memegang pelipisnya sejenak, menetralkan deru nafasnya juga mengedipkan matanya berkali-kali. Tidak beres, kenapa tubuhnya jadi merasa tidak beres begini? Tidak. Zharel benar-benar bingung. Dia merasa buntu dan juga, tidak.
Semuanya menjadi tidak ketika seharusnya ia menemukan apa jawabannya.
Scarleta berdeham. "Tadi lo tanya apa yang ingin gue lakuin di sini, ya, itu." Perempuan itu bergeser dua langkah, tahu diri kalau Zharel tidak nyaman juga pasti, keadaan mereka akan sangat berubah menjadi sangat canggung dan akan ada sekitar banyak kemungkinan yang cukup besar, Arzharel akan menjauhinya karena hal ini.
Memangnya siapa dia, yang berhak memintanya untuk bergerak mendekat?
Manik mata Zharel bergulir kesana-sini saking masih ia merasa bingungnya. Dia ingin bicara tapi kenapa rasanya sulit? Sebisa mungkin Zharel berdeham dan di saat dia berhasil melakukannya, diam-diam dirinya merasa kaget sendiri. "Le, why? Kenapa lo menginginkan hal itu dan lo malah melakukannya sama gue? Kenapa?"
Kini, diam-diam juga Zharel kagum pada dirinya sendiri yang berhasil buat bisa bicara sepanjang itu, setidaknya habis kejadian tadi. Ya Tuhan, Zharel bingung, masih bingung—masih merasa bodoh dengan apa yang sudah terjadi sebelumnya.
"Setidaknya, gue pengin melakukan itu, dengan seseorang yang gue suka..." Tidak, akan terasa bodoh, jika Scarleta mengelak. Akan terasa idiot, kalau dia malah terus-terusan memunafikkan diri lagi. Satu sisi, Scarleta sebenarnya, merasa malu.
Tapi di sisi lain, Scarleta merasa tidak menyesal telah melakukannya. Justru, Scarleta malah merasa menyesal andai kata, dia tadi tidak berani mencium Arzharel di saat situasi dan suasananya sangat pas, di tempat yang sekiranya sangat tepat.
"Emang gue nggak punya seseorang, yang kata lo pasangan, untuk gue bawa ke tempat se-indah ini." Scarleta menelan ludahnya sendiri karena merasa sesak. Ia, memikirkan kemungkinan Zharel yang pasti akan menjauh di saat mati-matian amat berharap mereka bisa menjadi dekat, khayalan tingkat tinggi. "Premis, lo pikir aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
ESCAPE [I] (END)
Romance[RIFAI SEQUEL - I] (17+) Make me feel, us is forever... Munculnya Scarleta Amora Callsey, membuat hidup Arzharel Keenandrey Rifai yang lurus, serius, kaku dan mononton menjadi jungkir balik dan berantakan.