24. Kesederhanaan

3.3K 318 0
                                    

Malam ini agaknya sedikit mencengkam di kamarnya. Jimin tidak menemukan sosok Raisya di sampingnya. Gadis itu marah agaknya. Atau memang Jimin terlalu keras padanya?

Satu yang harus kalian tahu, Jimin hanya tidak ingin gadisnya malah terus larut dalam sebuah masalah yang sama sekali bukan masalahnya. Jimin juga tidak ingin ketika gadisnya malah mendapat perlakuan tidak menyenangkan di sekolahnya.

Hei! Jimin juga pernah remaja pada masanya. Dia juga tumbuh layaknya anak-anak lain yang mengalami masa sekolah dan remaja.

Percayalah, dibully itu tidak enak. Jimin pernah mengalaminya dan dirinya tidak ingin jika Raisya malah ikut mengalaminya. Dirinya laki-laki sedangkan Raisya perempuan. Jimin bukan menyepelekan kekuatan perempuan. Hanya saja ia takut jika Raisya berpikir dangkal dan malah mengambil jalan yang salah. Kendati memang dengan Raisya mengambil jalan tersebut hanya kecil, tetap saja Jimin khawatir.

Pria itu mengacak surainya lantas bangkit dan membuka pintu kamar. Tungkai kakinya berjalan menuju kamar tamu—tempat Raisya mengurung diri saat mereka sampai di rumah.

Jimin menyandarkan tubuhnya di ambang pintu yang dikunci dari dalam. Mengetuknya perlahan "Raisya? Kau masih marah padaku?" ucap Jimin lirih. Ia benar-benar tidak bisa jika harus didiamkan seperti ini.

Tidak ada jawaban. Keheningan menyelimuti kamar dengan pintu bercat putih polos itu.

Jimin menghela napasnya, "Kumohon buka pintunya. Di kamar sepi sekali tidak ada dirimu. Aku lapar, aku ingin makan." Jimin tidak berbohong saat dirinya mengatakan lapar. Perutnya benar-benar minta diisi padahal ini sudah jam sepuluh malam.

Tanpa Jimin duga, Raisya membuka pintu kamarnya dan berjalan keluar. Jimin langsung melangkahkan kakinya cepat mengikuti sang gadis.

Dengan cekatan, Jimin meraih pergelangan tangan Raisya hingga langkah gadis itu terhenti. Raisya tidak menoleh dan tetap memandang kearah depan "Lepaskan, aku akan membuatkan makanan untukmu," ucapnya.

Dada Jimin mencelos tak kala mendengar nada suara Raisya yang begitu dingin. Jimin lantas menarik gadisnya kedalam pelukannya dan merengkuhnya erat.

"Kenapa? Kau jangan berbicara seperti itu padaku."

Tidak ada jawaban atau balasan pelukan dari wanita di dekapannya. Raisya hanya terdiam tak berniat membalas. Dirinya masih kesal pada Jimin.

"Katakan sesuatu," paksa Jimin. Ini lebih menyakitkan dari pada Raisya menampar pipinya kelewat kencang.

"Aku mau memasak," Raisya berubah menjadi jelmaan koki atau bagaimana? Jimin mengendurkan rengkuhannya dan membiarkan Raisya kembali berjalan kearah pantry.

Jimin mendudukkan dirinya di kursi makan sambil menatap gadisnya. Ia bingung harus melakukan apa sekarang. Gadisnya sedang moody hari ini.

"Astaga! Aku lupa belanja!" Raisya lantas mendengus melihat kulkas yang kosong melompong. Belum lagi Ahjuma yang sedang cuti satu minggu ini membuat Raisya dilanda panik sekarang.

Jimin bangkit lantas membuka lemari pantry dan mengambil dua cup ramyeon. Raisya yang melihat itu lantas menarik ramyeon tersebut "Hei? Ada apa?" tanya Jimin tak mengerti.

Ingin sekali Raisya menampar pipi Jimin yang mendadak jadi bodoh. "Sudah malam, dan kau ingin makan ramyeon? Ck! Yang benar saja!" kesalnya.

Jimin melongo dibuatnya, memangnya salah? Tanpa memperdulikan Jimin yang masih menatapnya bingung, Raisya kembali memasukkan ramyeon itu pada lemari.

Kembali membuka kulkas dan mengambil helaian roti tawar. Raisya membawa roti tersebut di atas meja lantas mendudukkan bokongnya di sana. Jimin yang juga masih tak mengerti ikut mendudukkan dirinya di samping Raisya. Memperhatikan apa yang sedang gadis itu lakukan.

DREAMS ✴PJM✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang