Aku tetap diam, memejamkan mata dan pura-pura tidur. Tidak kuhiraukan keberadaan Mas Ken di kamar kami, biarlah dia menyimpulkan sendiri tentangku.
Beberapa saat kemudian, dia ikut membaringkan tubuhnya dibelakangku. Untuk pertama kalinya semenjak dia memutuskan untuk tidur di kamar tamu, barulah malam ini dia tidur di kamar kami. Dadaku terasa sesak, air mataku tidak berhenti menetes tatkala mengingat semua perkataan Raisha tentang Mas Ken. Tanpa sadar, aku menangis sesegukkan. Membuyarkan lamunan Mas Ken dan mengalihkan tatapannya padaku.
"Aini... Kau kenapa?" tanya Mas Ken sembari memelukku dari belakang.
Aku tidak menjawab, lidahku terasa keluh. Tanpa kusadari Mas Ken bangkit dari pembaringan dan mengintip langsung wajahku. Aku tahu dia terkejut melihatku menangis, bahkan kedua mataku bengkak.
"Aini... Ada apa? Kenapa kau menangis? Katakan ada apa?" tanya Mas Ken sambil menarikku bangun, kecemasan nampak jelas diwajahnya.
Aku tetap diam.
"Katakan kenapa kau menangis, Aini. Jangan membuatku frustasi!" ujar Mas Ken sambil mengguncang bahuku.
Aku menghempaskan kedua tangannya dari bahuku, dan menatap nanar wajahnya, wajah yang selama ini kurindukan.
"Apa aku sudah tidak semenarik dulu, Mas? Sehingga cinta dihatimu hilang tak berbekas. Hiks.. Hiks.."
Aku kembali menangis sesegukkan setelah mengucapkan kalimat tersebut, sekilas kumelihat keterkejutan diwajah suamiku.
"Apa yang kau katakan, Aini? Hentikan pemikiran konyolmu itu!" ujar Mas Ken sembari mengalihkan pandangannya kearah lain.
Aku tahu Suamiku berbohong.
"Jika memang kau sudah tak cinta, mengapa tidak kau katakan saja? Selama ini, kau melampiaskannya pada Putriku. Dia selalu jadi sasaran amarahmu. Sekarang aku sadar, itu bukan kesalahanku yang tidak bisa menenangkan tangisnya. Tapi karena kau sudah jenuh, Mas!"
Mas Ken beranjak dari ranjang dan berdiri memunggungiku.
"Cukup, Aini. Jangan memvonisku sembarangan!"
"Kalau begitu, siapa Raisha? Kapan Surat Cerai kita akan sampai ketanganku? Bukankah itu yang kau katakan pada orang tua Raisha?!"
Mas Ken menatapku tajam. Sepertinya dia terkejut.
"A-Aini, apa yang kau bicarakan?"
Kali ini suara Mas Ken mengecil, nyaris tak terdengar. Entahlah.
"Kau mau kita pisah kan, Mas?"
"Cukup Aini! Bicaramu sudah terlalu jauh. Tidurlah, kau terlalu capek hingga bicaramu semakin ngawur. Aku keluar sebentar, disini gerah."
Mas Ken keluar dari kamar tanpa memberi penjelasan padaku, aku tahu dia menghindar. Jadinya aku semakin galau, kebimbangan kembali hinggap direlung hati.
***
Pagi ini aku bangun kesiangan. Namun ada yang berbeda hari ini, aku mendapati Mas Ken tidur seranjang dengan kami. Dia tidur disamping Putriku, Syifa. Entah aku harus bahagia atau sedih, aku masih diliputi kebimbangan. Segera kuberanjak menuju dapur, membuat sarapan untuk Suamiku seperti hari-hari sebelumnya, meskipun kadang tidak dicicipi.Ting!
Sebuah pesan masuk ke dalam ponselku, kulirik sebentar. Dari Raisha. Aku tidak menghiraukan pesan tersebut dan kembali kerutinitasku.Selesai menyiapkan sarapan, aku segera cuci tangan dan meraih ponsel diatas meja makan.
[From: Raisha
Maaf mbak, apa mbak sudah memberitahukan pertemuan kita pada Mas Ken?]Aku menyeritkan dahi setelah membaca pesan dari Raisha, kemudian mulai membalas pesannya.
[To: Raisha
Tidak. Kenapa?]Tidak berapa lama kemudian, Raisha kembali mengirimiku pesan.
[From: Raisha
Mbak bohong, yah! Buktinya tadi malam Mas Ken menghubungiku, dan memarahiku habis-habisan. Kenapa mbak harus menceritakan pertemuan kita padanya, mbak?!]Semakin kesini aku semakin kesal dibuatnya.
[To: Raisha
Loh, emangnya kenapa? Saya hanya bertanya padanya perihal pernyataan mbak. Saya hanya ingin pembenaran darinya. Jadi salahnya dimana?][From: Raisha
Mbak tidak salah. Hanya saja, saya tidak mau jika Mas Ken akan membeci saya dan menganggap saya lain]Disini aku mulai curiga dan menerka-nerka perihal pernyataan Raisha padaku. Aku semakin yakin, jika Raisha punya niat jahat.
[To:Raisha
Apa itu artinya, jika sebenarnya mbak juga menyukai Suamiku?]Kesal rasanya karena Raisha mengabaikan pesanku. Aku merasa Raisha sengaja mengajakku bertemu, hanya untuk memanas-manasi aku. Apa jangan-jangan kemarin Raisha hanya berpura-pura? Apa Raisha Pelakor? Ah, entahlah.
Tidak ingin berlarut-larut dalam lamunan, aku bergegas kekamar hendak memandikan Syifa. Pemandangan dikamar membuatku terharu, manakala aku mendapati putriku sudah rapi dan digendong Mas Ken.
"Syifa sudah kumandikan, dan maaf, aku tidak mahir memilih pakaian untuk bayi. Jadi kau maklum saja kalo pakaian yang dikenakan Syifa pagi ini tidak sesuai. Kebetulan aku suka warna bajunya." ucap Mas Ken sambil mencium pipi putri kami.
"Gak apa-apa, Mas. Makasih yah, sudah membantu memandikan Syifa. Syifa cantik hari ini. Sekarang kamu mandi dulu, Mas. Nanti akan kusiapkan pakaianmu, setelah itu sarapan yah, Mas."
Mas Ken menganguk pelan dan menyerahkan Syifa padaku, kemudian bergegas ke Kamar mandi.
***
"Mas, kau tidak kekantor?" tanyaku ketika mendapati Mas Ken keluar dari kamar hanya mengenakan Kaus oblong dan celana jeans selutut, pakaian favoritnya di dalam rumah.Mas Ken tidak langsung menjawab, melainkan ikut duduk lesehan disampingku yang sedang menyusui Syifa.
"Hari ini aku meliburkan diri dari pekerjaan, karena ada urusan yang harus kuselesaikan dirumah."
"Urusan? Urusan apa, Mas?"
"Tentang kejadian semalam, kejadian yang membuat matamu bengkak."
Aku memilih diam ketika Mas Ken membahas kejadian semalam, jujur aku sudah melupakannya. Tapi Mas Ken kembali mengungkit, sepertinya dia akan jujur dan memperjelas kebenarannya.
Aku mendengar Mas Ken menghela napas panjang, kemudian menyandarkan kepalanya dipundakku.
"Aini, aku minta maaf jika selama ini sudah membuat hatimu terluka. Bahkan aku sampai tidak berani tidur di kamar kita. Bukan karena kesal dengan tangisan Syifa, tapi karena selama ini aku merasah bersalah padamu."
Aku menatap Mas Ken dengan nanar.
"Karena merasa bersalah? Emang kesalahan apa yang sudah kau lakukan sampai membuatmu merasa bersalah? Jujur Mas, semenjak Syifa lahir sikapmu padaku berubah drastis. Aku tidak mengerti, bahkan sampai sekarang pun aku tetap tidak mengerti, Mas."
Sejujurnya aku ingin menangis, tapi masih bisa kutahan. Mas Ken mulai mendekapku kedalam pelukannya, pelukan yang hilang semenjak Syifa lahir. Hari ini kembali kurasakan hangatnya pelukan sayang dari Mas Ken. Meskipun sudah setahun membina rumah tangga, tetap saja, aku masih meragukannya. Bagaimana tidak? Semua karena sikapnya.
"Maafkan aku, Aini. Untuk saat ini aku belum bisa mengatakannya. Aku belum siap. Tapi aku janji, suatu saat nanti aku akan mengatakannya padamu."
"Kau membuatku takut, Mas."
"Tidak ada yang perlu kau takutkan. Tapi satu hal yang harus kau ketahui, Aini. Aku melakukan semua itu demi melindungi dirimu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Salahku Apa?
AçãoJika jodoh sudah tiba, mau tidak mau kamu harus terima, bukan? Lantas, bagaimana jika dia bukan jodoh sebenarnya? Aini, seorang anak yatim piatu yang jago bela diri dan menjadi Bos salah satu Geng Motor yang paling di takuti di kotanya. Namun, dia m...