Part 12

5.4K 308 0
                                    


***
"Pak, saya pesan cake pelangi 2, yah. Tolong dibungkus." pintaku pada pria paruh baya penjual cake yang saat ini sedang mangkir di pinggir jalan.

"Baik, mbak. Mohon tunggu sebentar yah, saya siapkan cakenya."

"Iya, pak."

Sementara menunggu cake pesanan ibu mertua, iseng-iseng ku arahkan pandanganku ke area parkiran rumah sakit. Sontak mataku berhenti pada satu titik, dimana titik tersebut berhasil menggetarkan hatiku.

Ah, ada pak Dokter! Dia terlihat sangat tampan dengan stelan  Jas putih yang menjadi ciri khasnya sebagai dokter. Tapi ngomong-ngomong, dia dokter spesialis apa, yah? Namanya siapa? Udah nikah apa belum? masih single atau duda kah?

"Mbak, pesanannya sudah jadi."

Ucapan bapak penjual cake membuyarkan lamunanku tentang pak Dokter, memaksaku buru-buru bangkit dan segera membayar cake pesanan ibu mertua.

***
Ku sodorkan Cake pelangi yang baru saja kubeli pada ibu mertua,

"Bu, ini cakenya."

Dia langsung merampas cake dari tanganku, setelah itu mengenduskan hidungnya tepat pada bungkusan cake.

"Kamu beli cakenya dimana, Aini? Sepertinya kualitas cake ini  kurang bagus, dari baunya saja udah beda. Perisai duriannya kurang, warnanya juga pucat. Ah, ibu gak mau makan cake ini! Gak sesuai selera ibu. Harusnya kamu pilih cake yang warna dan baunya lebih mentereng dong, Aini. Ini mah cake murah!" cetus ibu mertua sambil melempar cake itu padaku.

Tulang pipiku sedikit sakit terkena lemparan cake dari ibu mertua, inilah yang tidak ku sukai darinya! Maunya ingin selalu di turuti, tapi tidak tahu menghargai. Memuakkan!

"Lah, ibu kan yang barusan nyuruh aku beli ini?! Katanya pengen makan cake pelangi yang ada di depan Rumah Sakit, pas udah kebeli kok malah komplain?!"

Aku sedikit sewot dengan tingkah ibu mertuaku ini, benar-benar membuatku naik pitam.

"Yah salah kamu sendiri, beli cake tanpa memperhatikan kualitasnya! Kamu kan tahu sendiri, ibu tidak respek dengan makanan yang kualitasnya rendah seperti itu. Paling tidak, ibu masih punya banyak duit untuk membeli cake yang kualitasnya jauh lebih bagus. Tidak seperti kamu, yang hanya mengandalkan pemberian suami, banyak pula tingkahnya."

Ahahaha. Aku ingin sekali tertawa, tapi aku menahannya. Bahasnya cake, ujungnya ke aku. Aku hanya bisa tersenyum lebar dan berteriak keras dalam hati.

Tunggu, Apa dia bilang? Mengandalkan pemberian suami? Pemberian yang mana, yah? Aku rasa Ibu dan Anak ini sudah Amnesia kali yah, sampai-sampai mengungkit sesuatu yang mereka sendiri sadar tidak pernah memberikannya. Dasar konyol. Semua itu kan hakku sebagai istri,masa di ungkit-ungkit?

"Ah, ibu ini. Masalah cake saja sudah sewot, nanti tambah keriput lah tuh kulit. Apalagi kalo sampai kena darah tinggi, kan gak lucu, bu."

"Masalahnya bukan itu, Aini. Tapi kamu yang tidak bisa membedakan mana yang berkualitas, dan mana yang tidak. Kamu jangan mengatai ibu seperti itu, dong! Ntar kualat baru tahu rasa!"

Ya Ampuun, ibu mertuaku ini sangat unik. 2 porsi cake saja sudah berhasil membuatnya naik darah, padahal dia sendiri yang mulai. Aduh, pusing pala barbie!

"Bu, Mas Ken kok tiduran terus? Belum sadar, yah?" tanyaku pada ibu mertua sambil melirik Mas Ken sekilas.

"Kamu ini kok bodoh sekali sih, Aini?! Ken belum sadar karena baru selesai operasi!! Dan lihatlah dirimu, jadi istri malah gak ada perhatiannya pada suami."

Ck, belum sadar apanya? Orang aku dengar kalian tadi berdebat panjang dan mempermasalahkan harta warisan orang tuaku.

"Oh, belum sadar yah, bu? Aku panggil Dokter dulu yah, bu? Takutnya Mas Ken sudah gawat!"

"Apa maksudmu sudah gawat?! Kamu ingin anakku mati?! Iya?! Lama-lama mulutmu itu ibu gampar biar bisa diam!!"

"Salahku apa, bu? Aku kan cuma mau panggil Dokter. Soalnya yah, bu, tadi kata Dokter Mas Ken akan sadar dalam waktu 2 Jam pasca operasi. Lah, sekarang udah berapa jam? Udah 9 jam, bu. Kan gawat!"

"Tidak perlu kamu panggil dokter! Sebentar Ken akan sadar."

Yes, aku menang! Aini kok dilawan.

***
Aku keluar sebentar dari ruangan tempat Mas Ken di rawat, menelusuri koridor Rumah Sakit dan memandang takjub pada para Dokter dan Perawat yang sedang berlalu lalang menangani pasien. Aku sempat berpikir, bagaimana jika aku menjadi seorang perawat saja? Ahahaha. Konyol sekali aku ini. Mana mungkin? Aku tidak pernah kuliah. Ah sudahlah, aku harus fokus pada misi kebebasanku. Bukan memikirkan hal-hal yang sama sekali tidak penting bagiku.

Eits, tunggu dulu! Itu kan Raisha? Mau apa dia kesini? Aku harus sembunyi, jangan sampai Raisha tahu jika aku ada disini. aku sangat yakin dia kesini mau menemui Mas Ken.

"Maaf, sus. Pasien Atas Nama Ken Adrian masih di ruangan ICU kan?" tanya Raisha pada Resepsionis Rumah Sakit.

"Tunggu sebentar, saya cek dulu."

Aku memperhatikan gerak-gerik Raisha dari balik tembok. Benar dugaanku, dia kesini ingin menemui Mas Ken.

"Pasien atas nama Ken Adrian sudah di pindahakn ke ruang Mawar 1 jam yang lalu, mbak."

"Baiklah, terima kasih."

Raisha berlalu pergi dengan langkah tergesa-gesa, sedangkan aku membuntutinya dari belakang.

Beberapa saat kemudian Raisha sudah berada di ruangan tempat Mas Ken dirawat, kemudian masuk tampa permisi.

Hmm, aku harus tahu apa yang akan mereka bicarakan. di dalam masih ada ibu, aku sangat yakin jika mereka punya rencana jahat untukku. Apa ibu,Mas Ken, dan Raisha kerja sama? Ahh, aku harus memastikannya

Perlahan-lahan aku menempelkan telingaku pada daun pintu, seperti yang aku lakukan tadi saat menguping pembicaraan ibu mertua dan Mas Ken.

"Eh, Raisha? Kamu sudah datang, nak? Sini sayang, Ken sudah gelisah karena kamu belum menjenguknya." ucap ibu mertua dengan lembut pada Raisha.

"Iya, sayang. Kenapa kamu baru datang? Disaat-saat seperti ini, aku hanya ingin kamu disini." timpal Mas Ken.

"Yah gak bisa, kan ada Aini." kata Raisha dengan nada sok manjanya.

"Gak perlu menyebut namanya, ibu sudah mengusirnya pulang. Bikin gerah." ucap ibu mertua sambil diiringi tawa dari katiganya.

Aku tersenyum miris, perlakuan ibu mertua padaku dan Raisha sangat berbeda. Padahal aku istri anaknya, sedangakan Raisha? Sulit dipercaya.

Sedih juga rasanya, melihat semua perlakuan orang-orang itu padaku. Bahkan aku sempat berpikir, apa aku bukanlah orang yang pantas menerima perlakuan lembut dari orang lain? Sungguh, sebenarnya aku cemburu pada Raisha. Seandainya Mas Ken dan ibu mertua benar-benar tulus padaku, mungkin aku akan mempertahankan Mas Ken dan menuruti semua keinginannya. Bahkan aku rela memberikan semua yang aku punya pada mereka. Tapi kenyataan seakan ikut memojokkanku, membuat jiwa ini semakin di kuasai iblis. Itu hanya ada dalam khayalanku, dan tidak akan pernah menjadi nyata. Aini yang malang.

Air mataku perlahan-lahan menetes, membasahi pipi yang terasa dingin. Aku sudah tidak mau lagi mendenggarkan percakapan mereka lebih lanjut, takutnya hati ini akan semakin luka dan menelan tubuh mereka dalam balutan darah. Aku lebih memilih pargi saja, buat apa aku disini? Jika hanya untuk balas dendam, aku masih punya banyak waktu. Baiklah, malam ini aku aku pulang saja, Tidak perlu pamit pada mereka. Sepertinya mereka sedang bahagia, dan tidak perlu di ganggu.

Aku berjalan gontai ke arah parkiran, mengusap lembut bulir-bulir bening yang masih belum enggan untuk keluar. Ahh, kenapa aku harus menangis?

Aku menetralisir perasaanku, mengusap kasar air mata yang tanpa malu menetes di pipi yang dingin ini.

"Kamu menangis? Jangan disini, malu dong jika mereka menganggap kamu cengeng."

Aku menoleh ke asal suara, mendapati sosok maskulin yang akhir-akhir ini mengusik pikiranku. Sosok itu berdiri tepat di sampingku sambil menenteng jasnya.

"Pak Dokter? Sejak kapan anda disini?" tanyaku sambil mengusap sisa-sisa air mata di pipi.

"Sejak kamu menangis seperti anak kecil yang kehilangan mainan. Sangat cengeng sekali!"

Apa dia bilang? Cengeng? Menyebalkan!! Tahu apa dia tentangku?!

Salahku Apa?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang