Part 22

5.7K 336 9
                                    


"Bu, ibu kenapa tertawa?" tanyaku sesekali menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

"Bagaimana ibu tidak tertawa, pertanyaan kamu aneh sih, Aini. Ahahahaha. Ibu yo heran, kamu kok tidak bisa bedakan usia mereka? Mira itu adik sepupunya Koko. Mira sudah ibu anggap sebagai anak, karena dia sudah yatim piatu sejak dia umur 9 Tahun. sudah 5 tahun Mira tinggal bersama kami, hanya saja minggu kemarin dia berangkat ke Makassar hendak menjenguk temannya yang sedang sakit gagal ginjal, dan baru tiba disini kemarin. Koko sangat sayang pada Mira layaknya adik sendiri, karena Koko tidak pernah punya adik. Mira itu masih ABG, nak. Umurnya baru 14 tahun, tapi badannya bongsor, mirip gadis dewasa seusiamu."

Hah, ternyata Mira itu adik sepupu Dokter Adit? Aku sama sekali tidak pernah menduganya. Pantas saja kemarin mereka sangat dekat, ternyata ini alasannya.

"Ohh, begitu bu? Saya pikir pacarnya, karena saya baru melihatnya kemarin."

"Jadi, kemarin kalian sempat bertemu?"

Aduh, mati aku!! Jangan sampai aku ketahuan kalau aku sempat menguntit mereka kemarin, bisa berabe nih ceritanya.

"Eh, tidak, maksud saya baru melihatnya hari ini. Hehehe."

"Ooh, yaudah, kita masuk yuk. Pasti mereka sedang mencari kita. Ayo."

Aku berjalan berdampingan dengan ibu Naimah, canggung sekali rasanya. Tapi sangat menyenangkan, berasa jalan-jalan sama keluarga sendiri. Bahkan, aku tidak pernah merasakan suasana ini selama aku berumah tangga dengan Mas Ken. Ah, sudahlah, tidak perlu lagi mengingat masa lalu.

"Mama sama kak Aini kok lama? Aku sama abang udah nungguin dari tadi nih, yang ditunggu baru nongol. Kira-kira, lagi ngomongin apa yah, kok sampe lama? Kepo dong." tanya Mira sambil menghambur manja ke pelukan ibu Naimah. Ternyata benar, Mira ini masih kanak-kanak. Ah, dasar aku!

"Biasalah, Mir. Lagi ada urusan orang dewasa, anak-anak dilarang kepo!" jawab ibu Naimah sambil tertawa kecil, sedangkan Dokter Adit sibuk dengan ponselnya.

"Ma, aku keluar sebentar yah, ada yang kelupaan di mobil. Kalian duluan saja ke dalam, ntar aku nyusul." ucap Dokter Adit memandangku sekilas.

"Iya, jangan lama."

Sepeninggal Dokter Adit, ibu Naimah dan Mira mengajakku ke tempat pakaian. Mereka mulai memilah satu persatu baju yang mereka sukai.

"Yang ini sangat cocok deh sama Kak Aini, warnanya juga cantik. Pasti abang tambah suka deh."

Aku menatap Mira dengan tidak percaya, maksud ucapannya apa, yah? Ah, gak usah dipikirkan.

"Mama, ini bagus kan buat Kak Aini? Cantik warnanya, aku suka."

Ibu Naimah melihat sekilas baju yang disodorkan Mira padanya, kemudian menggeleng pelan

"Tidak mira, itu tidak cocok untuk Kak Aini. Nanti kalo Kak Aininya pake dres selutut itu, dia bakal kelihatan mirip anak-anak. Posturnya pendek, dan dia sedikit tomboy. Kalo pake gamis, barulah cocok."

Aiisshh, ibu Naimah kok jujur amat sih tentang postur tubuhku yang pendek ini? Jiwaku meronta!

"Tapi, kalo kak Aini pake gamis bakal kelihatan kayak gimana yah, ma? Nanti kebesaran lagi. Ahh, lebih baik kita lihat-lihat baju disebelah sana saja, disini gak ada yang bagus. Ayo, ma, kak."

Mira menarik tanganku menuju ke tempat lain, hingga tidak sengaja bahuku menyenggol bahu seseorang, membuat orang tersebut jatuh terhuyung kebelakang.

"Aaakkhhh!! Ini kelakuan siapa, sih?! Gak punya mata, yah?!" teriaknya sambil memungut paper bag miliknya di atas lantai.

Raisha?! Hah, kenapa sih,  aku harus bertemu lagi dengan wanita satu ini.

Salahku Apa?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang