***
Kepalaku terasa pening, bau minyak kayu putih begitu menyengat hingga memaksaku untuk membuka mata. Samar-samar aku melihat Mas Ken duduk disampingku, tidak, lebih tepatnya aku berbaring di atas paha Mas Ken. Aku baru ingat, tadi aku pingsan. Dan, aku teringat putri kecilku. Secepat kilat aku bangun dan mencari keberadaannya."Syifa putriku, dimana kamu, nak? Syifaaa..."
Aku berteriak histeris, tidak peduli dengan tatapan orang-orang yang lalu lalang di Rumah Sakit tersebut. Bahkan aku tidak peduli dengan Mas Ken yang saat ini berusaha menenangkanku.
"Sabar, sayang... Kita harus ikhlas." ucapnya lirih.
Tunggu dulu, dia memanggilku sayang? Apa dia sedang tidak waras? Selama kami menikah, tidak pernah sekalipun Mas Ken memanggilku dengan panggilan itu. Tapi biarlah, aku sudah tidak peduli.
"Apa kamu bilang? Ikhlas? Ikhlas katamu? Jadi, kamu senang jika Putriku pergi dan meninggalkanku?! Begitu?!"
Ku lihat Mas Ken gelagapan, entah dia merasa bersalah atau sebaliknya.
"Tidak, Aini. Syifa juga putriku! Dan aku sangat menyayanginya, tapi aku sadar dia milik Allah. Terus, kamu pikir jika kamu seperti ini Syifa akan kembali? Tidak, Aini."
Aku tidak bisa lagi berkata-kata, ucapan Mas Ken ada benarnya. Tapi, lagi-lagi hati ini menyalahkan dirinya. Seandainya saja dia sedikit lebih perhatian pada putriku, pasti tidak sampai begini kejadiannya. Entahlah, aku kecewa padanya. Aku marah padanya.
"Kamu jangan menyalahkan Ken dong, Aini! Harusnya kamu sebagai seorang ibu lebih peka terhadap putrimu. Ini kok anak sakit malah gak tahu apa-apa! Udah parah baru dibawa ke Rumah Sakit, ibu macam apa kamu?!"
Emosiku langsung memuncak tatkala ibu mertuaku ikut bicara dan menyalahkanku. Tapi aku berusaha menahan diri. Aku menatap tajam ibu mertua, seandainya saja dia tahu perbuatan Mas Ken selama ini, aku yakin dia tidak akan memvonisku dengan ucapan itu. Ah, sudahlah. Biarlah, biarlah aku salah dimata mereka.
***
Sudah seminggu semenjak kepergian putriku, aku mengurung diri di dalam kamar. Menangis, hanya itu yang bisa kulakukan. Mandi dan makan, aku hampir tidak pernah. Jika saja Mas Ken tidak bersikukuh memaksaku makan, mungkin aku sudah sekarat. Tapi sekali lagi, aku sangat kecewa padanya."Aini, makanlah, sayang."
Kulirik sekilas Mas Ken dengan semangkok bubur di tangannya, sejak tadi pagi dia terus membujuk agar aku makan. Tapi sungguh, aku benar-benar tidak berselera. Aku hanya ingin putriku.
"Aini... Ayo makan, sayang. Ikhlaskan, dia sudah tenang di alam sana."
Lagi-lagi ucapan Mas Ken memancing kebencianku padanya, kejadian demi kejadian yang masih terekam jelas di memori otakku, bagaimana dia memperlakukan aku dan putriku selama ini. Yang paling ku ingat adalah, saat dia menolak untuk mengantar Syifa ke Rumah Sakit. Ah, sakit sekali rasanya.
PRANKK!!
Kulemparkan baskom bubur yang dipegang Mas Ken ke lantai.
Aku tahu dia terkejut, tapi itu lebih baik daripada aku harus meluapkan kebencianku padanya dengan sebilah pisau.
"Aini, kamu apa-apaan?!"
Teriak ibu mertua dari ambang pintu. Entah sejak kapan dia berdiri disana. Ku arahkan pandanganku padanya, aku bisa menangkap wajah tidak sukanya padaku. Sekali lagi, aku tidak peduli. Aku sudah mati rasa. Semenjak putriku meninggal, ibu mertuaku untuk sementara ikut tinggal bersama kami. Alasannya ingin menghiburku setelah kepergian putriku. Sedangkan ayah mertuaku pulang ke rumah mereka di luar kota. Kehadiran ibu mertua semakin membuatku tertekan. Bagaimana tidak? Dia selalu memvonisku dengan tuduhan macam-macam. Seakan-akan aku adalah seorang ibu yang telah menghilangkan nyawa anaknya dengan sengaja. Ingin sekali ku bantah ucapan-ucapan ibu, tapi aku tidak sampai hati melakukannya.
Ku lirik Mas Ken yang beranjak mendekati ibunya,
"Sudahlah, bu. Mungkin Aini masih syok. Jadi dia bertingkah seperti itu."
Ck! Rupanya suamiku ini pandai bersandiwara, sejak kapan dia peduli padaku? Sok bijak. Ucapannya sukses menutupi perilaku buruknya selama ini.
"Tapi, Ken, tidak seharusnya dia memperlakukanmu seperti itu! Syifa itu juga anakmu, dan juga cucuku! Emang cuma Aini saja yang merasa kehilangan?! Kamu sama ibu juga!"
Halah, omong kosong. Sejak kapan ibu mertua menggangap putriku sebagai cucunya? Menjenguk putriku saja bisa di bilang hanya dua kali. Saat lahiran, dan saat meninggalnya putriku. Ahh... Syifa, maafin mama sayang, selama ini kamu hiduo di lingkungan orang-orang egois. Andai saja aku punya sanak saudara...
***
Tidak terasa sudah sebulan lamanya Syifa meninggalkanku, hari ini aku mulai belajar ikhlas dan merelakannya. Benar kata Mas Ken, aku sayang padanya, tapi Allah lebih sayang.Bicara soal Mas Ken, hingga saat ini aku masih bersikap acuh padanya. Sejujurnya, aku sudah melihat banyak perubahan pada sikap suamiku itu. Tapi entahlah, sulit untuk mempercayainya kembali. Masih banyak teka-teki yang harus ku pecahkan, salah satunya tentang wanita bernama Raisha.
2 hari yang lalu aku tidak sengaja memergoki Mas Ken menggandeng mesra tangan Raisha di sebuah pusat perbelanjaan. Cemburu? Aku tidak tahu. Intinya, aku tidak akan tinggal diam. Aku harus mencari tahu kebenarannya. Kadang, aku merasa lelah dengan semua ini. Entahlah.
"Aini, hari ini aku mau izin ke kamu, aku ada meeting sama klien jam 9 malam. Mungkin aku pulang agak larut malam. Kamu gak apa-apa kan kalo aku tinggal sendiri?"
Aku merasa lucu sendiri dengan ucapannya barusan, sejak kapan dia izin dulu padaku sebelum melakukan sesuatu? Ah, rasanya ingin ku jitak kepalanya. Bukan, lebih tepatnya ku tampar.
"Aini, kok diam aja? Kamu gak izinin, yah?"
Aku menatapnya sekilas, lalu melemparkan pandanganku ke arah lain.
"Terserah."
Mas Ken diam saja. Tidak berapa lama kemudian dia duduk di sampingku dan mulai menggengam tanganku. Ah, rasanya ingin kuputar dan kupatahkan tulang-tulang tangannya.
Jujur aku mencintai suamiku. Karena awalnya aku percaya, ketulusan cintanya membawa dampak baik untukku. Dia rajin ibadah, penyayang, dan sabar, benar-benar membuatku jatuh cinta dan mantap ingin hidup berdampingan dengannya. Tapi... Ahh, Mas Ken, kamu mengecewakanku!
"Kalo mau meeting, yah tinggal meeting aja, kan? Kenapa harus tanya aku, Mas? Bukankah selama ini kamu melakukan segala hal sesukamu tanpa meminta izin dariku?"
Kutatap sekilas wajah Mas Ken.
"Kenapa diam, Mas? Pergilah!"
Wajah Mas Ken nampak kecewa dengan ucapanku barusan. Mungkin dia merasa tidak di hargai, atau tersinggung.
"Yaudah, Aku ke kantor dulu, yah? Kamu kalo butuh apa-apa, telpon aku. Atau kamu langsung ngomong ke ibu."
Aku menganguk pelan tanpa menoleh ke arahnya. Rasanya enggan untuk meraih dan mencium punggung tangannya, seperti yang kulakukan dulu.
"Kamu gak salim salam aku, nih?"
Ucapan Mas Ken membuyarkan lamunanku, lantas meraih dan mencium punggung tangannya. Yah, aku ikhlas. Sebab dia suamiku.
***
Sepeninggal Mas Ken, aku langsung mengambil ponsel dan berselancar bebas di Media Sosial. Rasanya sudah sangat lama aku tidak bersosialisasi di dunia maya.Beberapa saat kemudian, muncul permintaan pertemanan dari sebuah akun, yang foto profilnya seorang wanita cantik yang sedang bergelayut manja di lengan seorang pria yang wajahnya di beri emotikon. Ku perhatikan foto wanita yang di edit dengan filter abu-abu tersebut, Raisha. Yah, dia Raisha. Jangan-jangan pria yang ada di sampingnya tersebut adalah Mas Ken?

KAMU SEDANG MEMBACA
Salahku Apa?
AçãoJika jodoh sudah tiba, mau tidak mau kamu harus terima, bukan? Lantas, bagaimana jika dia bukan jodoh sebenarnya? Aini, seorang anak yatim piatu yang jago bela diri dan menjadi Bos salah satu Geng Motor yang paling di takuti di kotanya. Namun, dia m...