Part 16

5.4K 287 5
                                    

POV AINI

***
Aku uring-uringan di tempat tidur, rasanya enggan untuk beranjak dari sana. Bahkan untuk membersihkan diri, mengganti pakaian, dan makan aku tidak sempat. Ku habiskan waktuku hari ini hanya untuk melamun, dan memikirkan sebuah ide. Sebelum aku terbebas dan membuat perhitung pada Mas Ken, selama itu pula hidupku tidak akan tenang. Sesuai hasil kesepakatanku dengan Sam, aku akan melakukan misi pembalasan secepat mungkin sebelum Surat dari Pengadilan Agama keluar. Seperti kata Sam, Aku harus loyalti dan tidak neko-neko dengan keluarga itu. Lebih cepat lebih baik.

Soal aku yang berniat memonopoli perusahaan Mas Ken, ku serahkan urusan itu pada Sam. Tugas Sam adalah memastikan semua instansi yang bekerja sama dengan perusahaan Mas Ken untuk memutuskan kerjasamanya, kemudian menjalin kerja sama dengan perusahaanku yang bergerak di semua bidang. Dengan begitu, otomatis perusahaan Mas Ken akan mengalami kebangkrutan dan membutuhkan suntikan dana. Nah, dengan begitu aku akan masuk sebagai penyuntik dan memonopoli perusahaan Mas Ken. Mudah bukan? Hah, untung aku punya Tim yang kinerjanya bagus, dan tentunya pandai berbisnis meski mereka hanya lulusan Sekolah Menengah Atas. Siapa lagi kalo bukan Geng Motorku dulu? Harus ku akui, mereka sangat setia. Dan aku sangat bersyukur dengan hal itu.

Beberapa saat kemudian aku mendapat kabar dari Nurlan, baru saja dia melihat Raisha datang ke Rumah Sakit dan membawa serta kedua orang tuanya. Ah, Nurlan, kamu benar-benar penguntit handal.
Tunggu, tunggu! Raisha membawa kedua orang tuanya ke Rumah Sakit untuk apa? Untuk menemui Mas Ken? atau datang berobat? Hah, aku harus kesana dan memastikan sendiri. Enak saja mereka senang-senang tanpa mengingatku?! Tunggu saja yah, aku akan memberi kalian sesuatu yang berbeda hari ini.

Aku segera beranjak dari tempat tidur dan langsung menuju kamar mandi. Beberapa menit kemudian aku keluar dan langsung berganti pakaian. Mandi? Katakanlah hari ini aku jorok, karena aku tidak sempat mandi. Wkwkwkw.

***
Sesuai intruksi dari Nurlan, aku berjalan sambil mengendap-endap menuju Ruang Inap Mas Ken. Aku diharuskan untuk menguping dulu, dan mencari tahu apa yang sedang mereka perbincangkan. Karena menurut Nurlan, ibu mertuaku terlihat begitu antusias dengan kedatangan kedua orang tua Raisha, sampai-sampai dia sudah menunggu di depan pintu. Pasti Anak dan ibu itu punya rencana terselubung, mentang-mentang aku tidak ada disini mereka seenaknya menerima Wanita hari gus kekasih Mas Ken. Tidak waras, kan?

Aku menempelkan telingaku di pintu, berharap bisa mendengar apa yang sedang mereka perbincangkan.

"Raisha sudah menceritakan perihal anak ibu pada saya dan istri saya, katanya dia akan bercerai dengan istrinya? Benar?"

Hah, itu kan suara ayah Raisha? Hmm... Apa aku bilang, pasti ada sesuatu.

"Benar, pak. Istri anak saya itu sudah kelewatan sikapnya, dia itu pembangkang, pak. Bapak lihat sekarang, kan? Disaat-saat seperti ini saja dia sama sekali tidak ada disamping Ken. Malah keluyuran gak jelas diluar. Coba anda pikir, apa dia pantas disebut seorang istri? Malah Raisha yang bukan siapa-siapa, sudah sangat antusias menjaga anak saya."

Kurang ajar ibu mertuaku ini!! Mentang-mentang aku tidak ada, dia sesuka hati mencaci maki aku.

"Iya, Raisha sudah bilang sama saya perihal istri anak ibu. Kasihan anak ibu. Jadi, tujuan ibu mengundang saya dan istri saya kesini apa?"

Oh, jadi ibu mertua yang mengundang orang tua Raisha kesini? Apa yang sedang direncanakan?

"Ehm, begini, pak. Berhubung Ken sangat mencintai Putri bapak, bagaimana jika kita nikahkan saja mereka?"

Apa?! Benar-benar bikin darahku naik turun!!

"Lah, tapi kan anak ibu masih memiliki istri? Saya tidak bisa, bu."

"Bapak tenang aja, kita nikahkan mereka secara sembunyi-sembunyi. Bagaimana?"

"Sekali lagi maaf, bu. Saya tidak tahu apa tujuan ibu sebenarnya, tapi Saya tetap tidak setuju. Saya tidak mau anak gadis saya menyandang sebutan pelakor! Jika anak ibu benar-benar mencintai anak saya dan ingin menikahinya, ceraikan dulu istrinya, oke?!"

Ahahaha. Ternyata bijak juga pemikiran orang tua Raisha, tidak seperti anaknya yang bloon!

Aku tersenyum lebar, rasanya ingin tertawa sambil guling-guling dilantai. Ahahahah.

Aku kembali menempelkan telingaku di pintu, namun...

"Apa yang sedang kamu lakukan?"

Astaga, suara itu!! Jantungku benar-benar hampir copot hingga tidak sengaja aku mendorong pintu hingga sedikit terbuka. Aku menutup mulutku dengan tangan, semoga aku tidak ketahuan.

"Siapa disana?!" tanya ibu mertua dengan nada keras.

Aku gelagapan, hingga kaki ini susah untuk digerakkan. Akan tetapi tangan kekar menarikku dengan cepat dan bergeser ke sebelah tembok. Kemudian dia kembali menarik tanganku agar sedikit menjauh dari situ kemudian masuk dan bersembunyi di sebuah ruangan yang sedikit pengap.

Aku melotot setelah tahu siapa pemilik tangan kekar itu. Baru saja aku membuka mulutku dan hendak bicara, tangannya kembali membekap mulutku. Kemudian dia mengarahkan jari telunjuknya ke mulutku, membuat dadaku deg deggan.

"Sssttt... Wanita itu ada di depan, jadi kamu diam." ucapnya sambil berbisik.

Oh Tuhan! Rasanya aku mau pingsan. Bagaimana tidak mau pingsan? Jarak kami sangat dekat, Bahkan aku bisa merasakan hembusan napasnya menerpa wajahku.

Aku berusaha menahan napas sekuat mungkin, aku takut jika Pak Dokter tampan ini mendengar bunyi dadaku yang aneh.

Deg!! Mata itu, mata itu menatapku. Oh Tuhan, tolong aku. Jangan sampai pipiku ini merona tepat di depannya, jangan Tuhan.

"Sepertinya Ibu itu sudah pergi, ayo kita keluar."

Seketika aku tersadar, kemudian menganguk pelan. Sekilas aku melihat papan nama yang menempel di kemeja yang sedang dikenakan pak Dokter saat ini, Aditya Marvino. Oh, jadi namanya Dokter Adit? Atau Aditya? Ah terserah, yang penting aku sudah tahu namanya.

Baru saja aku hendak beranjak keluar, tiba-tiba aku kembali terkejut.

"Kyaaaaaaaaaaaa!!"

Aku berteriak sekeras mungkin dan langsung memeluk Dokter Adit dari belakang, membuat Dokter Adit ikut terkejut dan kembali membekap mulutku.

"Hey, apa yang kamu lakukan, Dora?! Bisa-bisa teriakanmu itu kembali memancing mereka. Dasar aneh!"

Napasku ngos-ngosan, jujur aku sangat terkejut. Tunggu, kok dia memanggilku Dora, sih? Hey Pak Dokter, namaku Aini, bukan Dora! Dan apa ini? Aku memeluknya? Astagaaaa, sungguh aku tidak sengaja. Aduuuh, malunyaaaaaa.

"Dok, i..ini.. Ini kamar mayat, kan?" tanyaku tidak berani menatap ke arah sekitar.

Aku kadang-kadang memang suka membunuh, tapi aku sangat takut dengan kamar mayat. Kalian mau tahu kenapa? Aku pun tidak tahu. Aneh kan?

Sekilas Dokter Adit tampak menggulum bibirnya, sepertinya dia ingin tertawa. Sialan! Orang aku hampir kencing di celana, dia malah nyengir tidak jelas.

"Kalo iya kenapa? Kamu takut?" tanyanya dengan nada menggoda.

Aku menggeleng cepat, sok berani.

"G..gak, kok! Tapi, ini benaran kamar mayat?!"

"Iya. Penakut bangat, sih!"

"Aaiiissshhh."

Dia kembali menatapku lekat, ah, membuatku baper. Tiba-tiba, tidak ada hujan tidak ada badai dan tanpa permisi, dia langsung pergi dan beranjak keluar meninggalkanku sendiri di Ruangan ini. Tuh, kan? Dia itu aneh, susah di tebak. Dengan cepat aku beranjak dan ikut keluar, ngeri juga berada di ruangan ini sendirian. Hiiiii...

Salahku Apa?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang