Part 39

4.9K 333 36
                                    

"Aku tidak tahu, Aini. Aku, aku sama sekali tidak terlibat." sergah Mas Ken masih tidak mau mengakui perbuatannya. Baiklah, mungkin aku harus memakai sedikit kekerasan.

"Masih tidak mau mengaku?!" aku mengancungkan belati kearahnya, membuat mantan suamiku itu gelagapan dan histeris saat belati tersebut menyentuh pipinya.

"A....Aini, jangan Aini. Sungguh, aku dan Raisha tidak terlibat. Percayalah padaku." Mas Ken mundur beberapa langkah hingga punggungnya membentur tembok.

"Oke, aku beri kesempatan kamu untuk berpikir jernih, Mas. Perlu kamu ketahui, belati ini baru saja di asah. Digores sedikit saja, dia akan merobek kulitmu dengan cepat." aku maju selangkah demi selangkah kearah Mas Ken, membuat pria pengecut itu berkeringat hebat.

"Aini, kamu mau apa, Aini? Tolong Aini, kamu jangan gila!" Mas Ken tampak ketakutan, tangannya gemetaran.

Tiba-tiba ponselku berdering, membuat Mas Ken seperti terkena serangan jantung karena kaget. Hahaha, rupanya dia benar-benar ketakutan ya? Kasihan juga.

Aku merogoh ponsel dari saku piyama yang kukenakan, ternyata Dokter Adit.

"Mas, kamu jangan berisik, ya? Jangan bersuara ataupun bergerak! Jika tidak, kamu akan, krek!"

Mas Ken menganguk pelan. Biarlah, biarlah mereka menyebutku psikopat.

"Halo?" aku menyapa Dokter Adit sambil menempelkan ponsel di telinga.

"Halo, Dora? Kamu dimana?! Tadi suster Reni bilang kalau kamu mau bertemu saya, maafkan saya, tadi tidak sempat menemuimu karena saya sibuk menangani pasien diruang ICU. Dan suster Reni, dia sempat bicara tentang Pak Hermawan. Saya benar-benar mengkhawatirkanmu, Dora."

"Gak apa-apa, saya masih ada urusan diluar." jujur aku masih kesal dengannya, tadi cuek bebek sekarang malah khawatir padaku, aneh sekali pemikiran para pria.

"Urusan diluar? Ini sudah dini hari, kamu dimana? Apa semua tentang Pak Hermawan?"

"Iya. Dok, saya boleh minta tolong?" aku bisa mendengar Dokter Adit menghela napas dengan kasar, aku tahu dia khawatir padaku.

"Katakan saja, saya akan lakukan sebisa saya."

"Dok, tolong kirimkan saya file rekaman CCTV tadi sore yang ada di Ruang perawatan Pak Hermawan, Ruangan Dokter Kandungan, dan Koridor Rumah Sakit. Saya perlu rekaman itu sekarang, saya mohon."

"Baiklah, saya akan keruang CCTV sekarang juga dan segera mengirim rekaman itu. Tapi katakan dulu, kamu dimana? Saya mengkhawatirkanmu."

"Calon suamiku sayang, kamu tenang aja. Saya akan baik-baik disini." aku sempat melihat tatapan aneh dari Mas Ken, biarlah, biarlah dia menyimpulkan sendiri.

"Dimana? Jangan bertindak yang aneh-aneh!"

"Saya di rumah, Dok." maafkan aku calon suamiku, aku terpaksa berbohong. Ini demi kelangsungan hidupku, hidupmu, dan juga hidup orang lain. Aku harus memutus rantai kejahatan paman, biar hidupku berjalan normal tanpa beban pikiran.

"Tadi kamu bilang diluar, kok sekarang di rumah. Yaudah, jangan kemana-mana. Soal Pak Hermawan, kita serahkan pada polisi."

Polisi? Maaf Dok, bukankah sampai sekarang polisi belum juga menuntaskan kasus ini? Malah dari dulu sampai sekarang, paman belum juga mendekam dipenjara. Haruskah aku percaya polisi? Kurasa tidak, aku harus bertindak sendiri. Setelah aku puas memberi pelajaran berharga pada paman, barulah aku akan libatkan polisi. Kurasa itu adil.

"Iya. Oh ya, nanti saya akan minta Sam untuk menemani Dokter ke ruang CCTV."

"Baiklah, jaga dirimu. Miss you."

Salahku Apa?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang