Part 4

5.8K 362 1
                                    


POV AINI

***
Ku lirik arloji yang terletak di atas nakas, waktu sudah menunjukkan pukul 22:47. Malam ini, seperti biasa Syifa rewel lagi. Aku dibuat kewalahan, terlebih lagi Suamiku belum juga pulang dari kantor. Kubacakan Doa sambil mengelus dada putri kecilku, tetap saja dia rewel. Kuletakkan punggung tanganku di dahi Syifa, seketika aku terkejut, Syifa demam. Secepat mungkin aku mencari ponsel dan segera menelpon Mas Ken. Tersambung tapi tidak di jawab. Aku benar-benar panik, dan kembali menghubungi Mas Ken. Kali ini di Angkat.

"Halo, Aini, ada apa? Aku lagi sibuk, kamu telpon terus. Yang ada kerjaku bakal berantakan!" Kata Mas Ken diseberang sana dengan nada sedikit membentak.

Deg! Ada apa lagi dengan suamiku? Kenapa dia berubah secepat ini? Padahal tadi pagi dia masih berlemah lembut padaku. Jujur hatiku sedikit kecewa.

"Mas, tolong kamu cepat pulang. Syifa demam tinggi."

Ku dengar Mas Ken mendengus.

"Aini, tolong mengertilah! Aku lagi sibuk, banyak dokumen yang harus aku selesaikan dan tanda tangani malam ini juga."

Tanpa sadar air mataku menetes perlahan membasahi pipiku. Aku benar-benar kecewa, juga sakit hati dengan jawabannya.

"Mas, tapi Syifa demamnya tinggi. Kita harus membawanya ke Rumah Sakit. Aku mohon, Mas. Hiks.. Hiks.."

"Jangan manja! Kamu bisa sendiri kan bawa Syifa ke Rumah Sakit, tanpa harus menungguku. Atau minta tolong Mang Udin  untuk menyetir mobil. Maaf, malam ini aku belum bisa menemani. Besok aku baru bisa kesana. Sudah, aku lagi sibuk. Oh iya, nanti Administrasinya aku saja yang urus."

Aku menangis mendengar jawaban Mas Ken. Sekilas ku lirik wajah putri kecilku, astaga, kenapa warna bibir putriku berubah jadi hitam kebiru-biruan? Aku mulai panik. Sebagai ibu muda yang belum berpengalaman mengurus bayi, jelas aku tidak tahu apa yang harus ku lakukan. Aku tidak tahu harus minta tolong siapa, sanak saudara aku tidak punya. Mertuaku jauh di luar kota. Dengan cepat aku meraih kunci mobil, dan membawa sendiri Syifa ke Rumah Sakit. Aku sendiri dalam kepanikan, menangis sembari memandang putri kecilku yang kini diam tak bersuara. Ku lajukan mobilku, menyalip kendaraan lain tanpa rasa takut. Aku lebih takut kehilangan putriku.

***
Aku menangis tanpa suara, memandang sayu tubuh putriku yang kini tidak sadarkan diri di ruang ICU. Mas Ken? Aku tidak lagi menanyakan dimana dia saat ini, aku tidak peduli.

Beberapa saat kemudian, Dokter yang menangani Syifa keluar dan menemuiku.

"Apa ibu keluaga pasien?"

"Saya ibunya, Dok. Bagaimana keadaan putri saya?"

Aku tidak sabar mendengar penjelasan dokter tersebut, aku takut, sangat takut kehilangan putriku.

"Putri ibu masih dalam keadaan kritis. Dia mengidap penyakit Typus, saya rasa ini sudah dari beberapa hari yang lalu. Kenapa ibu baru membawanya ke sini, pada saat keadaannya sudah parah begini?"

Aku menangis sesegukkan, merasa bersalah dan menyesal.

"Tapi, beberapa hari ini putri saya baik-baik aja, Dok. Tidak ada tanda-tanda dia sakit."

"Emang benar, bu. Itu karena bayi belum bisa ngomong. Apa beberapa hari ini putri ibu sering muntah?"

Aku berpikir keras sambil mengingat apa yang terjadi pada hari-hari sebelumnya. Dan benar, Syifa seringkali muntah. Aku pikir dia muntah karena kekenyangan, tapi hari ini aku sadar bahwa Syifa sakit.

"Benar, Dok. Beberapa hari ini dia muntah. Saya pikir dia kekenyangan, atau kelebihan minum susu Dok. Saya tidak tahu, jika putri saya sakit."

Dokter tersebut tersenyum.

"Ini anak pertama, bu?"

"Iya, Dok."

"Berdoalah, bu. Semoga putri ibu segera sadar."

***
Waktu sudah menunjukkan pukul 03:00 dini hari, tapi kedua mataku sangat sulit untuk dipejamkan. Aku duduk di samping ranjang putriku, mengelus dan menciumi tangan mungilnya yang dingin. Melihat wajahnya yang putih bagai kapas, ada rasa penyesalan di dalam hatiku.

Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa. Menghubungi kedua mertuaku saja, aku enggan. Aku takut, mereka akan menyalahkanku.

"Kamu cepat sadar yah, nak. Jangan biarkan ibu sendiri. Hanya kamu penyejuk hati ibu." bisikku ditelinga Syifa, berharap dia mendengar dan segera bangun dari tidurnya.

Aku menatap layar ponsel, sampai saat ini tidak ada kabar dari Mas Ken.

Aku sempat berpikir, kenapa Mas Ken sama sekali tidak peduli padaku dan Syifa? Padahal, kemarin aku sempat yakin dia benar-benar serius akan berubah. Tapi melihat kenyataan hari ini, perlahan-lahan kepercayaanku padanya pudar.

Ah Mah Ken, sebenarnya kamu siapa?

***
Pagi ini aku kembali menangis, Menangis tanpa suara. Aku hanya bisa menatap putri kecilku dari luar. saat ini para tenaga medis sedang berusaha membangunkan putri kecilku.  Tadi subuh, Syifa sadar dari masa kritisnya. Syifa terus menatap wajahku, sesekali jari telujukku digenggamnya sangat erat. Tapi itu tidak berlangaung lama, tiba-tiba Syifa kejang-kejang dan muntah. Putri kecilku memuntahkan cairan hijau, yang aku sendiri tidak tahu itu apa. Disini aku mulai takut, sangat takut kehilangan putriku. Tidak berapa lama, Mas Ken datang dan menarikku dalam pelukannya. Ah Mas Ken, sungguh, aku membencimu.

"Sabar, Aini. Bagaimana keadaan putri kita?"

Mendengar pertanyaannya, sungguh, aku benar-benar muak. Aku mendorong tubuhnya agar menjauh dariku. Aku tahu, dia pasti terkejut dengan apa yang baru saja kulakukan.

"Buat apa kamu peduli, Mas? Pergi sana! Bukankah kamu sibuk? Bukankah banyak berkas yang harus kamu tanda tangani? Ayo, pergi sana! Selesaikan pekerjaanmu! Jangan pedulikan kami! Hiks..hiks.."

Aku menangis. Aku sakit hati. Ku tatap Mes Ken, dia tampak diam. Biar, biarlah dia sadar.

"Aini, Aku.."

Belum sempat Mas Ken melanjutkan ucapannya, aku berteriak dan menampar wajahnya.

"Diaaaaaam!!"

PLAKK!!

Aku menamparnya. Menampar sekuat tenaga hingga sudut bibir itu mengeluarkan darah segar. Dia menatapku tajam, aku tahu, dia pasti tidak terima dengan perlakuanku barusan. Biarlah, ini belum seberapa.

Tiba-tiba, Dokter yang menangani Syifa keluar dan mendatangiku.

"Maaf, bu Aini. Kami sudah berusaha sekuat tenaga, tapi Allah berkehendak lain... Putri ibu tidak bisa diselamatkan. Maafkan kami."

JEDARR!!

Bagai di sambar petir di siang bolong, aku benar-benar syok. Air mataku tak lagi keluar. Pandanganku perlahan-lahan kabur, kemudian gelap.

Salahku Apa?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang