Part 31

5K 306 11
                                    


Hah, aku Aini, pantang bagiku berbaur bersama penghianat. Musuh? Ck, sekalipun dia masih punya hubungan darah denganku, bukan berarti dia bisa semena-mena padaku, kan? Dia siapa? Pamanku? Keluargaku? Hedeuh, paman mana yang membiarkan keponakannya hidup menderita. Jika saja dia benar pamanku, kenapa dia malah membiarkanku hidup di Panti Asuhan? Bukan hanya setahun dua tahun, tapi bertahun-tahun. Persetan dengan keluarga! Aku semakin penasaran, seperti apa wajah pamanku itu? Kenapa dia tidak langsung datang menemuiku di rumah?! Apa dia sengaja bersembunyi?

"Lan, Sam, antar gue menemui Pak Ramon sekarang juga! Kali ini, gue gak mau neko-neko. Padahal gue baru ingatkan untuk tidak bermain licik, eh, masih saja nekat. Mau mati dia rupanya! Aku pantang kasihan pada penghianat! Dan untuk Mas Ken dan ibunya yang tidak tahu diri dan tidak tahu terima kasih itu, suruh orang untuk bakar saja rumah mereka! Ingat, jangan sampai meninggalkan jejak. Gue benar-benar gerah dengan mereka, kurang baik apa gue? Padahal gue udah sangat berharap, agar mereka bisa berubah. Tapi apa?"

Kali ini aku benar-benar emosi. Bukan, lebih tepatnya aku marah. Bagaimana bisa Pak Ramon yang sudah kupercayai malah tega merencanakan niat jahat padaku? Padahal dia tahu sendiri, aset yang dikelolanya saat ini adalah milikku. Dia pikir aku ini bodoh, hello, aku punya banyak mata-mata. Bukan hal sulit untukku menemukan kebusukan orang-orang seperti mereka.

Bagaimana dengan Pak Robert, pamanku, atau apalah? Halah, persetan dengannya. Berani dia memgusikku, akan ku usik dia sampai ke lubang semut sekalipun. Aku tahu apa yang dia incar. Dia pikir, dengan mengaku sebagai saudara ayah, membuatku luluh dan menyerahkan sebagian aset padanya? Hahaha, sekalipun dia pamanku, aku bukan orang yang bodoh. Aku lebih memilih orang kepercayaan ayah, dari pada mengakui keluarga sendiri yang sifat culasnya minta ampun. Uang, uang, uang, dan uang! Tidak pernah lepas dari itu. Miris.

***
"Ibu Aini, tumben, kok tiba-tiba berkunjung ke kantor? Apa ada yang harus saya tanda tangani?"

Cuih! Aku benar-benar muak melihat wajah sok suci Pak Ramon. 

"Pak Ramon tolong tanda tangani ini!"

Aku langsung melemparkan sebuah dokumen kearahnya, membuat Pak Ramon sedikit kaget.

"Ini dokumen apa, bu?"

"Tanda tangani saja, Pak. Itu dokumen penting, harus ditanda tangani sekarang juga."

"Baiklah, saya akan segera tanda tangani."

Dengan cepat Pak Ramon menandatangani dokumen yang kuberikan padanya tanpa membaca isinya terlebih dahulu.

"Sudah, bu. Saya sudah tanda tangani semuanya."

Aku langsung menarik dokumen tersebut dari Pak Ramon, mengecek satu persatu kolom tanda tangan takutnya ada yang terlewati. Aman, semuanya berjalan dengan lancar. Pak Ramon, Pak Ramon, buaya kok di kadalin?

"Oke, semuanya sudah selesai. Sekarang, saya minta Pak Ramon meninggalkan tempat ini. Karena sebentar lagi akan ada orang baru yang memimpin perusahaan ini."

"Apa maksud ibu?! Orang baru?! Ini perusahaan atas nama saya, ya. Kok ibu malah main panggil orang baru! Ingat bu, perusahaan ini sudah balik nama menjadi milik saya, ibu tidak punya hak lagi mengaturnya! Apalagi sampai menyuruh saya meninggalkan perusahaan ini." teriak Pak Ramon dengan emosi.

Ck. Katanya perusahaan saya? Begini nih ciri-ciri orang takabur. Untung saja aku cepat menyadarinya, kalau tidak, bisa parah.

"Kata siapa milik Pak Ramon? Ini kan milik saya?"

"Hahaha. Saya kira anda lupa, bu Aini. Perusahaan ini sudah balik nama, ya! Dan ibu sendiri yang menyerahkannya pada saya!" teriaknya sambil menunjuk-nunjuk kearahku, tidak sopan pada atasan.

Salahku Apa?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang