Part 54

5.5K 315 10
                                    


***
Sesuai permintaan Mas Adit, hari ini kami berdua mengunjungi beberapa butik yang menyediakan berbagai model jilbab.

"Sayang, sekarang kamu pilih jilbab yang kamu inginkan. Pokoknya bebas, yang penting jangan yang banyak motifnya, Mas Kurang suka. Lebih elegan kamu pakai yang polos aja, yang gak mencolok." ujar Mas Adit sambil memilah-milah dan merekomendasikan model jilbab yang ia sukai padaku.

"Mas, gimana kalau aku pakai yang ini? Selain simpel, warnanya juga polos." aku menunjukkan sebuah jilbab segi empat padanya.

"Mmm, boleh. Kamu beli yang banyak, ya. Usahakan warnanya juga bermacam-macam, pokoknya kamu juga harus pakai meski di dalam rumah."

"Siap, Mas."

Aku mulai memilih beberapa potong jilbab segi empat, pashmina, dan saudia. Setelah itu aku dan Mas Adit membawa belanjaan kami ke kasir.

"Semuanya Rp. 2.762.500, Mas."

Mas Adit segera menyodorkan kartu kreditnya, langsung diterima oleh Mbak Kasir.

"Terima kasih, Mas, Mbak, sudah berbelanja di Butik kami."

"Iya, sama-sama. Permisi."

Mas Adit membawa semua belanjaanku ke dalam mobil, dan meletakannya di dalam bagasi.

"Sayang, kita langsung pulang atau gimana?" tanya Mas Adit seraya mengusap keringatnya dengan tisu. Sepertinya Mas Adit kepanasan, maklum, matahari sangat terik.

"Terserah Mas aja, aku nurut." ujarku langsung mengenakan sabuk pengaman.

"Ehem, cieee, yang sudah mau nurut sama, Mas."

Astaga, mulai deh. Ada saja celahnya agar bisa menggodaku.

"Mas ini gimana, toh? Katanya aku harus jadi istri soleha, jangan diledekin dong, Mas."

Aku sengaja memanyunkan bibirku, supaya Mas Adit berhenti menggodaku. Takutnya aku khilaf. Xixixi.

"Hehehe, bercanda sayang. Yaudah, kita singga sebentar di taman, ya. Sudah lama gak makan pentol, kamu kangen makan pentol?"

Aku menatap Mas Adit dengan sumringah, bergegas mengapit lengannya dan bergelayut manja.

"Mau, Mas. Pake banget!"

"Yaudah, tapi ingat, No pedas."

"Siaap!"

Mas Adit bergegas melajukan mobil yang di kendarainya menuju Taman Kota, katanya rindu makan pentol.

***
"Sayang, coba kamu ingat-ingat, kira-kira kapan terakhir kita makan pentol di sini?" tanya Mas Adit sambil mengunyah satu demi satu pentol di tangannya.

"Um, kapan, ya? Sudah lama, Mas. Aku sampai gak ingat."

Jujur saja, aku pelupa. Bahkan tidak ingat kapan terakhir ke sini, terlalu sibuk ngurusin masalah yang datang silih berganti membuatku sering lupa.

"Huuu, kamu benar-benar payah. Sudah satu bulan lima hari."

"Loh, Mas kok ingat?"

Gila, daya ingat suamiku benar-benar kuat. Huh, harus hati-hati, nih. Jangan sampai ia masih ingat kejadian memalukan saat kami bertemu pertama kalinya.

"Iya, dong. Selalu ingat semua tempat dan momen yang di situ ada kamu dan Mas, emang kamu? Suka pelupa."

"Ih, Mas ini! Kalo aku lupa, kan ada Mas yang ingetin. Ibarat kata, cinta itu saling melengkapi."

"Cielaah, sudah pintar, ya."

"Kan Mas yang ngajarin."

Mas Adit tertawa terbahak-bahak, entah apa yang lucu dalam pembicaraan ini. Huh, emang suamiku ini suka aneh dan  Membingungkan.

***
Aku duduk di depan cermin, di sampingku ada Mas Adit yang sibuk memilih jilbab mana yang akan aku kenakan malam ini.

"Nah, malam ini kamu pakai yang ini, ya? Warnanya cantik." ucap Dokter Adit sambil mengangkat sebuah jilbab segi empat warna tosca dan menunjukkannya padaku.

Aku menganguk. Sesaat kemudian Mas Adit memasang jilbab tersebut di kepalaku, mengambil jarum pentul dan mengeratkannya.

"Masha Allah, cantiknya istri Mas." puji Mas Adit langsung mencubit pipiku lembut.

"Mas, kok wajahku jadi kecil begitu?"

"Bukan kecil, sayang. Tapi imut."

"Mas, benaran?"

"Iya My honey bunny sweety. Kamu itu sempurna. Sangat sempurna."

"Gak usah berlebihan, Mas."

Mas Adit memelukku dari bekakang, kemudian mencium pipiku lembut.

"Mas tidak berlebihan. Yaudah, sekarang kita turun ke bawah, mama udah nungguin."

"Mas, aku belum siap. Malu."

"Loh, kok malu? Ayo, kan ada Mas."

Dengan ragu aku berdiri, belum siap di lihat Mira sama mama. Apalagi Nurlan.

"Yaa Salam, kok diam? Ayo, kamu itu cantiiiiiiik sekali. Sumpah."

"Belum siap, Mas."

"Harus siap. Ayo, kita turun dan makan malam."

Mas Adit mengapit pinggangku dan membawaku turun menemui Mama dan Mira. Sejujurnya, aku merasa belum siap. Ada rasa enggan di hati, tapi bukan malu.

***
Dugaanku benar. Mama, Mira, dan Nurlan menatapku tanpa berkedip sedikit pun,  seperti melihat hantu.

"Ma, gimana? Istriku cantik, kan?" tanya Mas Adit langsung menyadarkan mereka.

"Subhanallah, cantik sekali, Koko. Ini benaran Aini, kan?"

Astaga, ada apa dengan Mama? Apa aku terlihat seperti orang lain? Hah.

"Iyalah, Ma. Istriku kan cuma satu, Aini."

Mama menatapku haru, sama halnya Mira. Tapi tidak demgan Nurlan, anak itu masih melongo hebat.

"Bos, kok gue rada-rada geli ya, lihat lo."

"Hus! Bang Nurlan apaan, sih? Geli gimana? Itu kan wajib, ntar kalo kita nikah, Mira juga mau pakai jilbab sama seperti Kak Aini!".

Mas Adit berdehem kecil, matanya menyiratkan keseriusan.

"Nurlan, kamu tahu, tidak? Sebaik-baik wanita, adalah wanita yang menutupi auratnya. Jika seorang suami menyuruh istrinya untuk berhijab, maka pahala dan Rahmat-Nya akan terus mengalir. Nanti saya akan belikan kamu buku tentang hukum-hukum islam, kamu harus mempelajarinya. Apalagi kamu dan Mira akan segera menikah. Nurlan, tugas suami itu berat, karena ia imam dalam keluarga. Yaudah, kita makan dulu. Nanti setelah sholat isya, saya akan jelaskan padamu tentang tugas seorang suami dalam rumah tangga."

"Baik, Dok."

Ya Tuhan, aku benar-benar jatuh cinta pada suamiku. Sungguh, aku bersyukur bisa di pertemukan dan berjodoh dengannya. Suami idaman.

BERSAMBUNG

Salahku Apa?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang