Part 3

6.4K 344 0
                                    

POV Mas Ken

***
Sejujurnya aku tidak mencintai istriku, Aini.  2 Tahun yang lalu, pernikahan kami tidak didasari cinta. Yah, benar! Kami dijodohkan. Entah apa yang merasuki Ayah dan Ibuku, sehingga mereka ngotot ingin menikahkan diriku dengan Aini, gadis yatim piatu itu.

Sebelum menikah dengan Aini, aku memiliki kekasih bernama Raisha. Hubungan kami sudah memasuki Usia 7 Tahun waktu itu, dan terpaksa kandas karena aku harus memenuhi permintaan orang tuaku. Aku tidak mau jadi anak durhaka.

Dua hari sebelum pernikahanku, aku sempat memohon pada Ayah dan ibu untuk membatalkan pernikahanku dengan Aini. Sampai-sampai aku mengancam untuk bunuh diri. Lagi-lagi aku harus mengalah dan tidak bisa berbuat apa-apa. sebab setelah aku mengancam Ayah dan Ibu, disaat itu juga penyakit jantung Ayah kambuh. Dengan sangat terpaksa, aku mengiyakan permintaan mereka dan menikahi Aini.

"Ken, dengarkan ibu, nak. Mungkin kamu berpikir, Aini tidak lebih hanyalah anak yatim piatu. Tapi ketahuilah, dia gadis baik-baik. Dia sudah menyenangkan hati Ayah dan ibu, meski baru pertama kali bertemu. Tidakkah kau berpikir, betapa beruntungnya dirimu memiliki istri seperti dia?" kata ibu sembari mengoleskan selai diatas roti milik Ayah.

Aku diam saja. Rasanya tidak berselerah untuk membahas Aini, yang akan menjadi istriku dalam kurun waktu dekat ini.
Beberapa saat kemudian, ibu melanjutkan bicaranya.

"Ibu tahu, kok. Kamu kecewa kan sama Ayah dan Ibu?"

Pertanyaan ibu barusan benar-benar membuat darahku sedikit naik.

"Itu ibu tahu! Tapi kenapa tetap memaksa Ken untuk menikahi gadis itu?! Melihat orangnya saja ken tidak pernah, kok bisa-bisanya Ibu sama Ayah malah menyuruh Ken menikah dengannya! Sedangkan Ibu sendiri tahu, Ken hanya mencintai Raisha!"

Aku tahu Ayah dan Ibu syok mendengar ucapanku, tapi biarlah, aku hanya ingin mereka mengerti.

"Ken, Ibu tahu kok. Tapi bukan itu alasannya, nak."

"Terus apa, Bu?! Jika ucapan Ken keliru, lalu alasannya apa?!"

Aku benar-benar bingung dengan Ayah dan Ibu.

Kulihat ibu menghembuskan napasnya kasar, lalu menatap sekilah kearah Ayah.

"Begini, nak. Sebenarnya..."

Ibu menggantung ucapannya, membuatku semakin penasaran.

"Sebenarnya apa, bu?"

Kulihat Ibu sedikit enggan untuk meneruskan ucapannya, tapi Ayah meyakinkan Ibu untuk memberitahukan semuanya padaku.

"Ibu minta maaf, Ken. Karena sudah memaksa kamu untuk menuruti perintah Ibu. Tapi kami melakukan itu bukan tanpa alasan."

"Maksud ibu apa?"

Jujur, pernyataan ibu semakin membuatku penasaran. Aku yakin, pasti ada rahasia tersembunyi di balik semua ini.

"15 Tahun yang lalu, ibu pernah tinggal di Depok, rumah ibu tepat di samping rumah kedua orang tua Aini. Aini itu sudah yatim piatu sejak dia kecil. Ibu ingat betul waktu itu Aini masih berusia 2 Tahun dan Kamu 5 Tahun, tapi kamu masih ibu titip  di rumah eyang. Dua hari sebelum ulang tahun Aini, kedua Orang Tuanya meninggal karena kecelakaan pesawat. Aini yang polos dan tidak tahu apa-apa, terpaksa ibu asuh karena tidak ada sanak saudara yang mau mengasuhnya. Kau tahu, nak? Keluarga pihak Ayah dan Pihak ibu hanya sibuk bersengketa soal harta warisan peninggalan kedua orang tua Aini, tanpa sedikitpun mengingat jika masih ada si balita yang butuh kasih sayang mereka. Beruntungnya, sebelum meninggal kedua orang tua Aini sempat membuat surat wasiat yang isinya Aini adalah pemilik tunggal semua properti dan aset milik kedua orang tuanya. Mendengar pernyataan tersebut, keluarga Aini diam. Tapi tidak dengan Pamannya, dia tetap ngotot dan membuat pernyataan jika Aini akan dijadikan sebagai anak angkat. Dan otomatis setelah Aini besar, harta itu akan menjadi miliknya juga. Sesuai isi surat wasiat tersebut, Aini berhak mengambil alih semua warisan jika dia sudah genap berusia 22 tahun. Dan sampai saat ini, semua dokumen dan aset milik kedua orang tua Aini akan masih di amankan oleh orang kepercayaan Ayahnya."

"Terus, apa Aini di asuh pamannya?"

Sejujurnya aku mulai tertarik dengan kisahnya.

"Benar sekali. Tapi Aini masih sempat Ibu asuh selama dua bulan. Setelah itu di ambil pamannya. Tapi itu tidak berlangsung lama, 4 bulan kemudian pamannya menyerahkan Aini ke Panti Asuhan."

"Terus, apa hubungannya dengan pernikahan ini?"

Ayah dan Ibu tersenyum.

"Alasannya, Ayah dan Ibu ingin agar kamu melindunginya, Ken."

Aku semakin bingung dengan kata-kata ibu.

"Melindungi? Melindungi siapa, bu?"

"Aini."

"Kenapa?"

"Saat ini usia Aini 20 Tahun. Itu artinya, 2 Tahun  lagi, usia Aini genap 22 Tahun. Di usia 22 tahun, dia sah menjadi ahli waris. Kenapa ibu ingin kamu melindunginya? Karena ibu tidak ingin dia menderita akibat keserakahan pamannya, ibu sangat yakin pamannya sudah lama menunggu saat itu tiba. Dan pastinya sudah menyiapkan rencana besar. Tapi semua bisa diatasi jika ada yang melindungi Aini. Dan mama ingin kamu agar melindungi gadis itu, Ken."

***
Setelah percakapan di hari itu, dengan terpaksa aku menikahinya. Karena sebagai hamba, aku tidak tega jika hal buruk menimpa orang lain. Apalagi pada gadis yatim piatu itu.

Sah menjadi Istriku, Aini kuboyong ke rumah baruku di Tanggerang. Di rumah ini, kisahku di mulai. Meskipun aku tidak mencintainya, aku masih tetap memperlakukan  layaknya seorang istri pada umumnya. Aku memenuhi segala kebutuhannya, tanpa terlewatkan sedikitpun. Bahkan, aku memperlihatkan kasih sayangku padanya, meskipun dengan terpaksa. Yah, selama ini aku pura-pura mencintainya. Karena aku benar-benar tidak bisa.

Dua bulan kemudian, Aini hamil. Jujur saja, aku sangat bahagia meskipun hati ini tidak mencintainya. Siapa yang tahu? Aku, sang suami yang selalu di hormati ini diam-diam kembali menjalin hubungan dengan gadis yang sangat kusayangi, Raisha. Tidak jarang, aku sering menghabiskan waktu bersama Raisha tanpa diketahui Aini. Ah, bodoh amat. Toh selama ini Aini tidak pernah tahu.

Setelah Aini melahirkan, aku semakin acuh padanya. Terkadang aku marah dan memaki Aini habis-habisan karena tidak becus menenangkan bayi kami yang sedang rewel. Sebenarnya aku frustasi, dan selalu saja Aini dan putriku jadi pelampiasan. Sesekali aku sadar dan merasa bersalah, jika tidak sengaja aku masuk ke dalam kamar dan menatap wajah Aini yang terlihat lelah.

Beberapa hari ini kulihat Aini tidak banyak bicara, dia banyak melamun dan sering pula kudapati matanya sembab. Ahh, aku semakin merasa bersalah padanya. Aini, maafkan aku.

Malam ini adalah puncak rasa bersalahku pada Aini, tatkala aku mendengar  dia menangis sesegukan di dalam kamar. Segera kuraih gagang pintu kamar, dan membukanya dengan sangat pelan. Kulihat dia berbaring sambil mendekap putriku. Tidak ada suara. Aku tahu, dia pura-pura tidur. Hingga beberapa saat kemudian, kumelihat punggungnya naik turun. Dia menangis. Bahkan dia tidak menjawab pertanyaanku. Kuintip wajahnya, benar saja, dia menangis.

Kubangunkan dan kupaksa dia bicara, hingga kenyataan membuatku tertampar. Ohh, Aini. Maafkan aku, aku sudah banyak menyakiti hatimu. Seandainya kamu mengetahui kenyataan yang sebenarnya, aku sangat yakin, kamu akan benar-benar membenciku. Haruskah aku jujur pada Aini? Haruskah aku memberitahu yang sebenarnya pada Aini? Oh, aku tidak tega. Sekali lagi maafkan aku, Aini.

2 bulan lagi, usia Aini genap 22 Tahun. Aku tidak tahu, apa yang akan terjadi dua bulan yang akan datang. Dan rencana besar apa yang akan dipersembahkan pamannya. Aku berharap, bisa melindungimu. Seperti janjiku pada Ayah dan Ibu.

Salahku Apa?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang