***
Sore ini aku dan Dokter Adit memutuskan untuk pergi menemui bibi Romlah dan Tika di Bogor, Kertamaya."Jadi, Dokter Kenal bibi dan Tika?" aku mulai bertanya disamping Dokter Adit yang sibuk menyetir.
"Iya, kenal banget malah. Karena almarhum Ayah pernah mengajak saya kesana, bersama Pak Robert." jawab Dokter Adit masih fokus menyetir dan menatap lurus jalan aspal yang kami lalui.
"Apa Dokter tahu, kalo saat ini bibi Romlah buta?" aku rasa aku harus mengatakan kebenarannya pada Dokter Adit, kalau bibi Romlah sekarang buta.
"Apa?!" Dokter Adit reflek menginjak rem, membuatku terhuyung ke depan dan membentur dashboard.
"Maaf, sayang. Tadi saya kaget dengan ucapanmu, jadi secara tidak langsung saya menginjak rem. Maaf, ya. Mana yang sakit?" Dokter Adit mengecek dahiku, barangkali lecet atau memar.
"Saya tidak apa-apa, Dok." aku tersenyum lebar, membuat Dokter Adit sedikit lega.
"Jadi, sekarang bi Romlah buta? Tapi kenapa? Apa bi Romlah punya penyakit tertentu hingga membuatnya kehilangan penglihatan?" tanya Dokter Adit tanpa jeda.
"Kita lanjutkan perjalanan ya, Dok. Sekalian saya ceritakan penyebab bibi kehilangan penglihatannya." ujarku sembari memperbaiki posisi dudukku.
"Baiklah." cetus Dokter Adit sambil menarik pedal gas, tidak lama kemudian mobil kembali melaju.
Aku mulai menceritakan penyebab bibi Romlah kehilangan penglihatannya, sama persis yang diceritakan Tika padaku beberapa hari yang lalu.
Mendengar ceritaku, Dokter Adit terlihat geram, sesekali mendengus kesal.
"Jadi, Pak Robert juga penyebabnya?" tanya Dokter Adit menatapku nanar, sesekali mengusap wajahnya dengan kasar.
"Iya. Saya sama sekali tidak menyangka, jika paman bisa setega itu pada istrinya sendiri." Aku menyentuh lengan Dokter Adit, lalu bersandar dibahunya.
"Maafkan paman, ya, Dok. Karena dia sudah jahat padamu, memisahkanmu dari ayah." aku memejamkan mata, terlalu banyak masalah yang datang silih berganti tanpa mengenal waktu. Sungguh, itu bukan inginku.
"Kamu tidak perlu meminta maaf untuknya. Dari semua korbannya, kamulah yang paling menderita. Dia sudah membunuh orang tuamu, menelantarkanmu, mengincar hakmu, dan berusaha melenyapkanmu. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana penderitaanmu, sayang. Seandainya saya jadi kamu, pasti saya sudah menyerah. Tapi kamu, kamu kuat. Saya benar-benar bangga dan bersyukur bisa memiliki kamu, calon istriku. Sosok wanita yang mungkin hanya ada satu di dunia ini, yaitu kamu. I love you." Dokter Adit langsung mengapitku diketiaknya, lalu mengecup kepalaku dengan lembut.
"Ujung-ujungnya gombal lagi!" gerutuku sambil menepis telapak tangannya dari wajahku, aku sudah bisa menebak, pasti pipi atau hidungku yang jadi incarannya.
"Hahahaha. Ini bukan gombal, ya. Ini serius, asli!" kata Dokter Adit diiringi tawanya yang khas.
"Weleh, modus! Biasanya pria yang suka gombal itu rata-rata pembohong. Yah, contohnya Dokter Sendiri."
"Yaa Salam, tega benar su'udzon pada calon suami sendiri. Sejak kapan saya bohong ke kamu? Gak ada kan?"
"Halah, gak ada gimana? Udah sering kok! Mau disebutin satu persatu?!" aku menatapnya tajam, kesal ketika calon suamiku itu pernah mengabaikanku. Itu terjadi beberapa hari yang lalu sebelum Pak Hermawan disekap.
"Yaudah, coba sebutin apa aja? Gak ada, kan?"
"Saya emang gak ingat. Tapi saya sangat ingat, waktu Dokter mengabaikanku dimalam itu tanpa sebab! Pake merajuk segala lagi, kesambet kali, ya?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Salahku Apa?
ActionJika jodoh sudah tiba, mau tidak mau kamu harus terima, bukan? Lantas, bagaimana jika dia bukan jodoh sebenarnya? Aini, seorang anak yatim piatu yang jago bela diri dan menjadi Bos salah satu Geng Motor yang paling di takuti di kotanya. Namun, dia m...