***
Ting!Bunyi pesan masuk. Sebelumnya aku menerka-nerka, kira-kira siapa?. Dengan malas, aku meraih ponsel dari atas Nakas. Lantas, mataku melotot setelah membaca pesan tersebut.
[ From: +6287726******
Selamat siang, Langsung ke inti saja yah. Sebelumnya maaf, apa ini dengan Mbak Aini, istrinya Mas Ken? ]Kira-kira seperti itulah isi pesannya. Sontak aku penasaran sekaligus mulai was-was, berharap Mas Ken baik-baik saja. Aku segera mengetik balasan pesan tersebut.
[ To: +687726******
Benar, ada apa yah? ]Semakin kesini, sebagai Istri perasaanku mulai tidak enak. Instingku mengatakan, ada sesuatu yang tidak beres.
[ From: +687726****
Saya Raisha, Sahabatnya Mas Ken. Boleh saya minta waktu bertemu Mbak? Ada hal yang harus saya bicarakan dengan Mbak Aini. Ini penting sekali, Saya harap Mbak mau meluangkan sedikit waktunya ]Dengan menahan napas, aku membalas pesan dari Wanita yang mengaku Raisha tersebut. Jujur saja, aku mulai penasaran. Mengapa wanita ini mengajakku bertemu? Bahkan aku sama sekali tidak mengenalnya.
[ To: +687726****
Baiklah. 2 Jam lagi kita bertemu di Kedai Kopi Murni, karena untuk sekarang saya masih ada urusan yang harus dikerjakan. ][ From: +687726****
Baiklah. Terima Kasih ]Aku tidak sempat membalas pesannya, sebab bayiku tiba-tiba menangis. Dengan pikiran berkecamuk, aku meraih Putri kecilku, Syifa, yang berusia 8 Bulan ke pangkuanku, kemudian mendekap erat dan menenangkannya.
Jangan bertanya dimana Suamiku. Sebab, semenjak Syifa lahir dia semakin menyibukkan diri dengan rentetan pekerjaan Kantor, alasannya tidak lain demi aku dan putri kami. Mas Ken tidak sehangat dulu, sekedar mengelus kepala Putri kami pun sudah sangat jarang dia lakukan, apalagi sampai menggendongnya. Tidak jarang Mas Ken tidur di kamar tamu hanya karena merasa terganggu dengan tangisan Syifa. Aku maklum saja, mungkin Mas Ken butuh istirahat tenang karena seharian bekerja.
***
Aku menatap Raisha dengan seksama. Jika dilihat, Raisha ini adalah seorang wanita karir. Cantik dan seksi menurut pandangan mata."Jadi, ini Mbak Aini, Istrinya Mas Ken?" tanyanya memulai percakapan.
"Benar. Perkenalkan, saya Aini."
Aku menjulurkan tanganku, dan disambut cepat oleh Raisha.
"Raisha."
Aku dan Raisha mengambil tempat duduk, dan memesan Kopi sesuai selera masing-masing.
Sejujurnya, aku merasa canggung berhadapan dengan wanita yang baru kukenal beberapa jam yang lalu. Sambil bertanya-tanya dalam hati, apa yang akan disampaikan padaku.
Raisa kembali menatapku, dan mulai bicara.
"Sebelumnya, saya minta maaf, Mbak Aini. Karena sudah merepotkan mbak untuk datang kemari dan bertemu saya."
Aku tersenyum sekilas. Bukan karena malas, tapi canggung.
"Tidak apa-apa, saya tidak merasa direpotkan."
Sekilas aku melihat manik cemas diwajah Raisha, seakan merasa takut tatkala melihatku. Raisha menghela napas, dan kembali hendak bicara.
"Mbak Aini, sebebarnya saya ingin menanyakan satu hal pada mbak. Karena itu saya ingin bertemu Mbak langsung, karena saya merasa tidak enak jika menanyakan hal tersebut lewat pesan ataupun telpon. Karena saya merasa, ini mrnyangkut privasi. Dan soal nomor mbak, saya memintanya langsung dari Mas Ken."
Aku kembali tersenyum, dan menganguk pelan.
"Saya lanjutkan lagi yah, Mbak. Sebulan yang lalu, Mas Ken datang kerumah dan menemui kedua orang tua saya. Dia terlihat sangat serius."
Deg! Ucapan Raisha barusan, membuat dadaku terasa sesak. Ada rasa cemburu menyelinap direlung hati.
"Lanjutkan, Mbak."
Hanya kalimat itu yang bisa keluar dari bibirku. Berbeda dengan Raisha, wanita itu mulai enggan meneruskan ucapannya.
"Mbak gak apa-apa kan jika saya teruskan?"
Aku kembali menganguk pelan, meski tanganku mulai bergetar.
"Baiklah, Mbak. Mas Ken datang membawa lamaran untuk saya, dia melamar saya untuk jadi istrinya didepan Ayah dan Ibu."
Tes! Air mataku jatuh tak tertahankan, bersamaan dengan itu Raisha menggenggam tanganku erat seakan ikut menguatkan. Jujur, aku sempat mengutuk keadaan dan situasi saat itu. Tapi aku tidak boleh lemah, aku harus mendengarkan semua kenyataan yang akan diucapkan Raisha.
"Maafkan saya, Mbak Aini. Saya tidak bermaksud..."
Belum sempat Raisha melanjutkan ucapannya, aku langsung menyela.
"Lanjutkan, Mbak!"
Dengan tidak enak hati, Raisha kembali melanjutkan ceritanya.
"Ayah dan Ibu sebelumnya tidak setuju, karena mereka tahu sendiri jika Mas ken menikah dengan Mbak. Tapi Mas Ken meyakinkan mereka, k-kalo... Maafkan saya Mbak, saya tidak sanggup."
"Tetap lanjutkan, Mbak Raisha!" kataku hampir tak terdengar.
"Maafkan saya mbak. Mas Ken mengatakan, kalo Mas Ken sudah menceraikan mbak. Dan surat cerainya mbak yang pegang. Itulah kenapa saya menemui dan bicara langsung sama Mbak. Sebab saya tidak percaya semua ucapan Mas Ken. Dan itulah saya datang menemui Mbak, untuk meminta Klarifikasi via rekam agar orang tua saya tau jika Mbak dan Mas Ken masih sah suami istri. Karena Ayah ngotot meminta Foto Copy-an surat cerai Mas Ken pada Mbak sebagi bukti untuk meyakinkan Ayah."
Aku menangis tersedu-sedu didepan Raisha. Biarlah wanita itu menyaksikan kehancuran hidupku, karena disini aku sadar bahwa perubahan sikap Mas Ken bukanlah tanpa alasan. Sakit sekali rasanya.
Aku menyunggingkan senyum paksa kepada Raisha,
"Apa benar yang kau katakan, Mbak?" tanyaku kembali memastikan.
Raisha hanya bisa menganguk pelan dengan wajah sedikit menunduk. Apa aku harus percaya Raisha, entahlah. Tapi perubahan Mas Ken semakin membuatku yakin, inilah alasannya. Mas Ken sudah tidak mencintaiku lagi, itulah mengapa dia selalu bersikap dingin padaku. Bukan hanya aku, tapi pada putri kami juga dia bersikao acuh. Jadi selama ini apa?
***
Semenjak pertemuanku dengan Raisha beberapa hari yang lalu, aku cenderung berdiam diri. Sedangkan Mas Ken, dia tetap pada sikapnya. Melihat wajahnya air mataku selalu keluar tanpa aba-aba, betapa sakit hatiku.Sepanjang malam aku habiskan dengan menangis, bahkan tangisan Syifa tidak lagi kuhiraukan. Aku terlanjut kecewa dan merutuki diri sendiri.
Tiba-tiba pintu kamarku dibuka dengan pelan, aku tahu itu pasti Mas Ken. Sesegera mungkin aku menggendong Syifa dan membaringkannya disampingku. Aku berbaring dan membelakangi Mas Ken, rasanya belum siap jika Mas Ken melihatku menangis.
Mungkin Mas Ken merasa ada yang aneh denganku, hingga dia mulai membuka suara.
"Aini... Kamu gak apa-apa, kan?"
Aku tidak menjawab atau berpaling menatap wajahnya, melainkan semakin menahan suara tangis agar tidak terdengar olehnya. Aku mempererat dekapanku pada Syifa, membenamkan wajah disela-sela ketiakku sendiri. Beruntungnya, Syifaku sudah tidur.
"Aini..." panggil Mas Ken lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Salahku Apa?
ActionJika jodoh sudah tiba, mau tidak mau kamu harus terima, bukan? Lantas, bagaimana jika dia bukan jodoh sebenarnya? Aini, seorang anak yatim piatu yang jago bela diri dan menjadi Bos salah satu Geng Motor yang paling di takuti di kotanya. Namun, dia m...