Chapter XV (Bagian 3) : Pedang Kegelapan

25 2 0
                                    

Saat Sofia dan Leonardo keluar dari lestoran itu, Leonardo kembali membuka mulutnya.

"Sekarang kau memiliki pedang itu, lalu kau akan apakan benda itu?"

Sofia melihat pedang yang dibawanya, "Aku akan membawanya dan menggunakannya."

"Menggunakannya? Untuk apa?"

"Apa aku belum bilang? Aku ingin menghancurkan dunia ini."

"Ha?"

Leonardo langsung berkacak pinggang dan terlihat mulai memarahi Sofia.

"Kau gila ya? Aku tahu kau memang ditakdirkan untuk menghancurkan dunia ini, tapi sekarang aku malah mendengar kau ingin menghancurkan dunia ini? Jangan konyol! Aku melindungimu karena aku percaya kau tidak memiliki keinginan untuk menghancurkan dunia."

"Ya, dulu aku juga memang tidak ingin seperti itu. Tapi semua orang seperti ingin aku melakukan ini, jadi yasudah aku lakukan saja."

"Dasar! Kau tidak ingin disebut anak kecil tapi pemikiranmu seperti anak kecil."

Sofia mengerutkan dahinya, "Karena bagaimana lagi, kan? Aku sudah tidak bisa hidup bebas di dunia ini, aku tak punya pilihan lain selain mengikuti apa mau mereka. Aku tidak punya tujuan karena itu aku melakukan apa yang orang-orang katakan."

Leonardo menatapnya kesal, lalu ia berdecak sebal dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Ah, baiklah. Terserah kau saja. Lakukan saja apa yang kau mau. Tapi kuharap kau tidak terlalu cepat menghancurkan dunia ini. Aku belum menikah, kau tahu!?"

"... Lalu?"

"Dasar dingin! Kebanggan seorang laki-laki itu memiliki seorang istri, jika seorang laki-laki sudah punya istri itu sudah menunjukkan sifat kedewasaannya."

"Aku sama sekali tidak mengerti apa yang kau katakan."

"Ah, pokonya biarkan aku mencari istri dulu dengan begitu kau boleh menghancurkan dunia ini."

Sofia menatap heran Leonardo, "Ba-Baiklah, terserah kau saja."

"Baiklah, terimakasih."

Sofia menggelengkan kepalanya pelan, lalu melirik ke arah lain. Tatapannya kembali berubah datar, dia kembali melihat-lihat sekeliling yang terlihat sama seperti saat pertama kali masuk ke tempat itu.

"Kemana aku harus keluar?" Tanya Sofia.

"Hm? Oh, kau bisa lurus saja dari sini, nanti kau akan menemukan pintu keluar."

"Oh, aku mengerti. Terimakasih."

"Kau serius akan pergi sendirian?"

Sofia kembali melirik ke arah Leonardo, "Ya, aku serius."

Leonardo kembali berdecak sebal, "Aku tahu tujuanmu tidak baik tapi menurutku kau harus mencari rekan yang juga memiliki tujuan yang sama sepertimu."

"Memangnya ada orang yang sama ingin menghancurkan dunia?"

"Sebagian besar penjahat itu memiliki keinginan jika tidak berencana menguasai dunia mereka ingin menghancurkan dunia."

"Oh, begitu."

"Ya, tapi jika kau sudah bergabung dengan sekelompok penjahat kau tidak boleh terlalu percaya pada mereka. Kau bisa terkhianati oleh mereka."

"Semua manusia itu bisa mengkhianatiku."

"Tidak, kau salah."

Sofia menatap heran Leonardo.

"Tidak semuanya. Meski aku penjahat, aku akan berada di pihakmu."

Sofia terdiam beberapa saat lalu menundukkan kepalanya, "Terimakasih."

"Syukurlah kau tidak bertemu kakekku. Jika kau bertemu dengannya mungkin kau akan dibawa kembali olehnya."

"Kakek?"

"Ya, si pria besar itu. Pemimpin pasukan Perampok Merah."

Wajah Sofia langsung berubah kaget. "Jadi dia kakekmu?"

"Ya, dia kakekku."

"Ini mengagetkan."

"Ya, aku mengerti maksudmu."

Sofia menghela napasnya untuk menenangkan dirinya. Lalu kembali membuka mulutnya, "Kalau begitu aku pergi dulu. Terimakasih atas minuman itu dan terimakasih telah membantuku."

"Ya, sama-sama. Hati-hati di jalan, ya. Dan kuharap kau bisa menemukan tujuan yang lebih baik lagi."

Sofia hanya mengangguk lalu pergi dari sana. Dia melangkahkan kakinya untuk memulai kehidupannya yang baru.

***

Sofia sudah berhasil keluar dari tempat itu, kini dia sedang berjalan kembali di sekitar kota kecil yang sejak awal dia temukan.

Sofia kembali berjalan tak tentu arah. Dia hanya berjalan dengan menyembunyikan pedangnya di balik jubah yang dipakainya.

"Hei, kau gadis yang membawa pedang."

Sofia sadar itu panggilan untuknya, dia menghentikan langkahnya lalu berbalik ke arah dimana suara itu berada.

Sosok yang dikenalinya beberapa waktu lalu hadir di depan matanya. Dia gadis dengan rambut coklat muda yang saat kemarin malam bertemu dengan Sofia—Dita.

Dita tersenyum riang, pipinya memerah dan tatapannya terlihat sangat senang. "Sudah kuduga, kau Sofia!"

Dita langsung menghampiri Sofia lalu memegang wajahnya dengan riang. "Kau Sofia, kan? Iya kan?" tanyanya dengan senang.

Sofia menepis tangannya dan mundur satu langkah ke belakang, "Ya, aku Sofia dan kau gadis yang kemarin, kan?" Tanya Sofia setenang mungkin.

"Ya, kau benar. Ah, dan sepertinya kali ini kau membawa benda lain yang menarik."

Sofia tertegun sesaat, lalu memegang pedang yang dibawanya sedikit lebih erat.

Dita tersenyum riang, di mata Sofia gadis ini terlihat gila.

"Hei, apa kau mengizinkanku untuk melihatnya?"

Sofia mengernyitkan dahinya, tapi dia pun merasa tidak apa-apa jika memperlihatkannya pada Dita. Dan Sofia merasa Dita akan tahu tentang pedang yang dibawanya, karena itu Sofia memutuskan untuk memperlihatkannya.

"Baiklah, kau boleh melihatnya. Tapi jangan di tempat ini."

_________________________

Thank you for read my story. See you~~ ^^

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Up : Rabu, 8 April 2020

(Book 1)Invisible Sin : The Girl Who Was Cursed (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang