Chapter XVII (Bagian 4) : Pembantaian

29 3 0
                                    

"Rasanya terlalu mudah bukan?" tanya Dita.

Semua orang yang ditugaskan Pemimpin berdiri di dekat pintu masuk markas itu. Sofia berada di antara mereka.

"Yah, sepertinya Pemimpin juga sudah menyerang kota Malen." ucap Robert.

"Ya. Kita juga harus mengambil semua yang tersisa di sini. Ini gara-gara kau Dita. Kenapa kau memindahkan bom ke tempat yang sangat penting." ucap Rui.

Dita mengalihkan pandangannya pada Rui, "Aku hanya melakukan yang menurutku benar."

"Kau malah mengacaukan banyak hal. Tidak bisakah kau berhenti berbuat seenaknya?"

"Tidak bisa. Itu sudah jadi sifatku."

Robert hanya tertawa kikuk ketika melihat Robert dan Dita bertengkar. Itu sudah seperti keseharian mereka. Lalu Robert melirik Sofia yang sejak tadi menunduk dan cemberut. Setelah dia berkeliling melihat-lihat markas, Sofia sudah berubah jadi seperti itu.

"Sofia, apa kau tidak apa-apa?" tanya Robert.

Sofia tidak menjawab, dia diam membisu seperti tidak mendengar ucapan Robert.

Dita melirik Sofia, dia sadar suasana hati Sofia sedang tidak baik saat ini. Dita menghela napasnya, "Semuanya, pisahkan barang yang penting dan tidak. Masukkan barang yang penting ke atas gerobak dan bakar saja sisa yang tidak pentingnya."

Semua menurut, mereka mulai memilih semua barang yang menumpuk di dekat mereka.

"Aku ingin mencari angin sebentar." ucap Sofia ketika berbalik dan pergi dari sana.

"Hei! Ini bukan saatnya mencari an—"

"Biarkan dia Rui!" ucap Dita memotong ucapan Rui. "Aku tahu dia sedang tidak baik-baik saja ketika aku merasakan detak jantungnya. Pasti terjadi sesuatu ketika kita tidak ada."

Rui terdiam, diam menuruti ucapan Dita.

"Seandainya aku bisa membaca pikiran seseorang."

"Apa yang kau bicarakan Dita?" tanya Robert sedikit menggoda. Ini pertama kalinya Dita tertarik pada seseorang. Karena itu Robert mulai ingin menggodanya.

"Tidak. Bukan apa-apa."

***

Sofia berjalan sendirian ke dalam hutan.

Markas itu dikelilingi pohon-pohon yang lebat. Jika masuk ke arah utara lebih dalam, hutan yang lebat berada di sana.

Sofia berjalan dengan lemah ke dalam hutan itu. Dia merenungkan kejadian tadi. Rasa bersalah menyelimuti hatinya. Dia kesal sekaligus sedih. Kejadian seperti ini sering terjadi kepadanya tetapi Sofia tetap tidak terbiasa dengan hal seperti itu. Namun anehnya, dia tidak bisa mengeluarkan air matanya sedikit pun. Padahal dia baru saja melihat seseorang yang berharga untuknya meninggal di hadapannya, tapi meski hatinya sedang sedih dia tidak bisa menangis sedikit pun.

"Semua orang yang kusayangi selalu mendapatkan masalah karena diriku. Kenapa...?"

Sofia bergumam, dia lelah dengan hal seperti ini. Dia terus kehilangan orang-orang yang dicintainya. Dia mulai merasa sangat bodoh dan tidak berguna. Dia merasakan dirinya bahkan tak layak untuk hidup. Dia sebuah bencana sekaligus kesialan.

Sofia menarik napasnya lalu mengeluarkannya perlahan. Dia memeluk dirinya sendiri dengan erat. Dadanya semakin sesak karena perasaan kesal dan bersalahnya. Dia ingin mencabik-cabik dirinya sendiri dan marah pada dirinya sendiri. Dia sangat muak pada dirinya sendiri.

"Kenapa...?" Sofia mulai bergumam. "Aku sudah tidak tahu apa yang harus aku lakukan? Sebenarnya apa yang sedang aku lakukan?"

Napas Sofia mulai tidak teratur, ia ingin meledak tanpa alasan. Dia ingin mengeluarkan isi hatinya namun tidak tahu harus bagaimana. Dia tidak tahu pada siapa dia harus mengeluarkan isi hatinya itu. Dia benar-benar sendirian sekarang. Dia baru saja membunuh seseorang yang paling bisa dia harapkan.

Sofia menghentikan langkahnya. Dia menggertakkan giginya dan menahan amarahnya.

Tiba-tiba suara gemerisik terdengar tak cukup jauh di depannya. Ia melihat bayangan seseorang yang sedang berdiri di depan sana.

Sofia sebenarnya tidak ingin menanggapi seseorang itu. Tapi dengan suara yang pelan tiba-tiba dia bertanya, "... Siapa?"

Bayangan itu tidak menjawab, ia hanya berdiri seperti sedang memperhatikan Sofia.

Sofia terdiam dia pun tidak ingin peduli siapa orang itu. Dia kembali menundukkan kepalanya dan berkata, "Jika kau ingin menangkapku maka silahkan saja. Aku tidak akan melawan. Aku... Sudah tidak memiliki niatan lagi untuk lari."

"..."

Sofia kembali terdiam. Dia sudah memasrahkan diri jika dia ditembak atau ditangkap. Dia masih labil dengan tujuan dan perasaannya. Setelah melihat Lily yang menangis kecewa karenanya, Sofia sudah ingin berhenti melakukan tujuannya. Dia tidak ingin jadi apapun. Dia sudah muak dengan takdirnya. Semua orang yang menyayanginya pasti akan berakhir tragis seperti Lily.

"... Kenapa?"

Akhirnya sosok bayangan itu mulai berbicara. Suaranya terdengar lembut seperti seorang perempuan dan itu membuat Sofia sedikit kaget.

Sofia mengangkat kepalanya dan mulai melihat bayangan hitam itu mulai berjalan mendekatinya sembari berbicara, "Apa kau sudah gila hingga melakukan semua ini?"

Sinar rembulan yang menyala menampakkan sosok sebenarnya bayangan itu. Sofia langsung membelalak ketika melihat sosok bayangan itu. Seseorang yang tidak dia harapkan dan seseorang yang tidak dia sangka malah muncul di hadapannya.

Sofia mulai kembali membuka mulutnya, "Ka... Kak?"

_________________________

Saya sangat menikmati saat membuat ceritanya, bagaimana dengan kalian? Apa kalian menyukainya?

Pada dasarnya genre nya itu memang drama, saya ternyata tidak bisa lepas dari genre fantasy dan historical. Mungkin fantasy maupun historicalnya masih kurang, tapi saya harap kalian tetap bisa menikmati cerita saya ^^

Terimakasih telah membaca cerita saya.

See you~~

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Up : Rabu, 15 April 2020

(Book 1)Invisible Sin : The Girl Who Was Cursed (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang