16

13.9K 1.4K 42
                                    

Aleta pulang pagi-pagi sekali setelah dijemput oleh Damian, ayah Nathan. Bilangnya ingin pergi olahraga, berdua saja biar romantis kayak masa muda. Nathan hanya mendengus jengah, Arsa tertawa geli dan memberikan acungan jempol pada Ayah mertuanya.

Menurut dia itu romantis.

Roti panggang berlapis selai kacang menjadi sarapan pengganti mereka saat itu. Bi Laila tidak ada, jadi terpaksa makan seadanya. Nathan sibuk mengancingi kemeja, Arsa diam memperhatikan. Dia sendiri sudah pakai seragam, tinggal sepatu dan tas saja yang belum terpasang.

“Kulkas kosong.” Ujar Arsa memberitahu.

Nathan menoleh, melipat lengan kemejanya sampai batas siku. “Kosong? Kalau gitu pulang sekolah kita belanja.”

“Katanya hari ini ada rapat guru.” Alis tajam Nathan berkerut samar seolah sedang berpikir. Mencoba mengingat-ingat kembali perkataan Arsa didalam benaknya.

“Gak ada rapat guru, diundur jadi besok.”

Yah, itu artinya tidak ada free-class.

Payah, padahal Arsa sudah berharap hari ini seluruh jam pelajarannya kosong.

“Pake sepatu kamu, nanti telat.”

“Iya.” Arsa membungkuk untuk memakai sepatunya, sedikit kesulitan karena di mulut masih ada sisa rotinya yang belum dikunyah apalagi tertelan.

“Habisin dulu rotinya, baru pake sepatu.” Diambil alih sepatu Arsa oleh Nathan. Pria itu berjongkok dihadapan yang lebih muda, memakaikan sepasang sepatu tersebut tanpa basa-basi hingga menarik simpul manis di kedua sudut bibir si empunya.

“Mas.”

“Apa?” Nathan mendongak, melihat wajah Arsa yang masih setia membungkuk dari tempat dia duduk.

“Masih sayang sama Arsa?”

Pertanyaan aneh, apa masih harus Nathan jawab? Pasti ada maksud terselubung kalau bocah ini sudah bertanya seperti itu. Dia yakin sekali.

Mengikat simpul akhir pada tali sepatu Arsa, ujung bibir Nathan ikut tertarik membentuk senyuman tipis. Terlampau tipis sampai Arsa sedikit ragu apakah dia benar-benar tersenyum.

“Mas sayang sama kamu, butuh bukti apa?”

“Gendong Arsa sampai mobil, baru nanti percaya.”

Benar 'kan, macan kecil ini pasti sedang ada maunya kalau sudah bertanya yang aneh-aneh.

“Kalau gitu harus ada imbalannya.”

“Imbalan apa?”

“Cium Mas lagi kayak tadi malem.”

.

.

.

Hal pertama yang menyambut pagi cerah Arsa kala itu adalah suara teriakan Julian. Begitu cempreng seperti kaleng rombeng dan menulikan gendang telinga seisi kelas.

Arsa berdecak jengkel, menaruh tas miliknya ogah-ogahan tanpa mau menoleh pada Julian. Sebentar lagi, Arsa hitung sampai tiga di dalam relung hati, diam-diam.

“Liat buku PR dong Sa, please~”

“Gak, lo kerjain aja sendiri! Makanya otak tuh dipake buat mikir bukan buat pajangan doang!”

Julian merengut sebal, menarik-narik ujung baju Arsa jenaka disertai binar memelas bak anak kucing telantar. Arsa mengerang gemas, ingin sekali mencekik Julian sampai mampus tapi tetap tidak tega.

“Jangan lama.” Memilih mengalah, Arsa berikan buku tugas bersampul cokelat miliknya pada Julian.

Pemuda bermata sipir tersebut hanya cengengesan dengan binar bahagia. Meraih buku tugas Arsa kelewat cepat untuk menyalin tulisan yang tertera, Julian melirik sesaat sebelum bertanya penuh tuntutan. “Sa, lo nikah sama siapa?”

Happy Marriage [KV] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang