Berhari-hari setelah kejadian di perpustakaan, hingga kini Ara masih saja menjauhinya. Jika Ara berpapasan dengan Vino, maka Ara akan mengabaikan Vino seolah tidak pernah mengenal Vino, bahkan seolah Ara tidak melihat Vino. Berkali-kali Vino ingin mengajak Ara berbicara, namun Ara selalu menghindarinya. Vino merasa putus asa sekarang. Vino benar-benar kehilangan Ara.
Ara tengah berada di toilet untuk membenarkan tatanan rambutnya yang dirusak oleh Rio. Ara benar-benar kesal dengan Rio yang pagi-pagi sudah merusak moodnya. Bagaimana tidak? Ara sedang PMS dan Rio malah mengusilinya dengan merusak kepangan rambut Ara yang dia buat dengan susah payah agar terlihat rapi. Alhasil, Ara harus melepas kepangannya, membiarkan rambutnya tergerai dengan agak bergelombang karena bekas kepangannya.
Ara keluar dari toilet, melewati koridor dan berniat berbelok, tepat di tikungan koridor langkahnya terhenti, karena tepat di hadapannya ada sosok Vino. Ara hanya mengabaikannya dan berniat ingin berjalan. Namun, lengannya di tahan oleh Vino.
"Aku mau bicara."
Ara mendengus pelan. Lalu setelahnya memasang ekspresi super datar.
"Gue buru-buru. Mending lepasin tangan lo dari lengan gue."
"Ra, please. Lima menit aja."
Ara baru memperhatikan penampilan Vino, penampilan Vino benar-benar berantakan. Rambut acak-acakan, seragam tidak rapi, dan jangan lupakan lingkar hitam di matanya. Bisa Ara pastikan bahwa Vino kekurangan jam tidur. Ditambah ada lebam-lebam di wajah Vino yang sudah mulai hilang, namun masih membekas sedikit, bisa ditebak bukan? Ini adalah ulah Rio yang memukuli Vino beberapa hari yang lalu. Kalau melihat keadaan Vino, Ara jadi tidak tega untuk menolak permintaan laki-laki itu.
"Jam istirahat aja. Cukup lima menit. Di taman belakang sekolah."
Vino segera mengangguk dengan antusias.
Ara langsung melepaskan cekalan Vino pada lengannya dan segera berlalu dari hadapan Vino. Bergegas menuju kelasnya untuk menyelesaikan tugas yang harus dikumpulkan pagi ini, berhubung bel masuk masih dua puluh menit lagi.
Anggi yang menyaksikan kejadian Ara dan Vino hanya terdiam dari kejauhan. Setelah Ara pergi barulah Anggi mendekati Vino yang masih menatap Ara melangkah menuju kelas.
"Ekhem."
Suara dehaman seseorang langsung menginterupsi Vino dari kegiatannya melihat Ara. Vino mengalihkan perhatiannya pada Anggi, orang yang berdeham tadi.
"Apa?"
"Nyesel nggak lo udah nampar Ara?! Ara udah mutusin elo kan?! Buat apa masih ngobrol sama Ara?! Nggak tahu malu banget sih."
Vino berdecak kesal. Selalu begini jika dia berhadapan dengan Anggi, tak akan pernah akur.
"Ini urusan gue sama Ara."
"Urusan Ara urusan gue juga dong. Lo nyakitin Ara, dan... oh iya! Lo udah dikasih hukuman sama Rio kan? Kasian, sakit? Gue yakin pasti sakit, tapi lebih sakitan Ara lah jelas, ditampar sama orang yang dia sayang."
Vino mengepalkan tangannya, dalam hati dia membenarkan apa yang Anggi bilang, Ara jauh lebih sakit darinya.
"Sebenernya gue pingin banget nampar lo. Tapi, gue nggak mau ngotorin tangan gue. Lagian lo udah dapet balesannya. Gue pesen sama lo yah, Vin. Jauhi Ara. Jangan ganggu hidupnya lagi dengan kehadiran lo. Ara udah cukup sakit selama ini."
Setelah mengucapkan itu, Anggi segera berlalu dari hadapan Vino.
Vino mengingat ucapan Anggi. Apa harus Vino menjauhi Ara? Dalam hati Vino tidak ingin menjauhi gadis itu. Namun, ucapan Rio, mamahnya, juga Anggi terus terngiang di otaknya. Ara berhak mendapatkan yang terbaik.
.
.
.Vino berada di taman belakang sekolah, menunggu seseorang yang berhari-hari menjauhinya, berhari-hari pula orang itu sangat Vino rindukan.
Tidak lama Vino menunggu, gadis itu akhirnya datang juga, dan mengambil duduk tepat di samping Vino.
"Cukup lima menit." Ucap Ara tanpa menatap Vino.
"Aku. A aku tahu aku salah, aku selalu nyakitin kamu. Aku nggak percaya sama kamu waktu itu. Parahnya selama kita pacaran aku selalu nyakitin kamu. Awalnya aku jadiin kamu dan pacar aku yang lainnya sebagai pelarian. Aku nyesel, Ra. Sekarang aku sadar aku salah, dan hati aku nggak bisa bohong kalau aku cinta kamu, Ra."
Vino berusaha menggenggam tangan Ara. Namun, Ara menghindar. Vino memakluminya, Vino memang tidak pantas menggenggam tangan Araisy.
Sedangkan Ara merasakan sakit lagi mendengar penuturan Vino. Jadi selama ini dia hanya dijadikan pelarian? Rasa yang Ara punya selama ini begitu tulusnya. Tapi, Vino menjadikannya pelarian? Hati Ara sakit, luka yang masih menganga malah ditaburi garam oleh Vino. Perih, Ara benar-benar merasakan sakit. Ara merasakan dadanya sesak.
Ara memberanikan dirinya menatap Vino.
"Alesannya lo jadiin banyak cewek pelarian apa? Lo tahu?! Hati itu bukan untuk dimainin! Lo terlalu baik sih, sampai hati aja rela lo bagiin sampai habis. Sampai lo nggak punya hati lagi!"
Vino menundukkan kepalanya, Vino melihat tatapan kecewa itu. Vino tak mengerti kekecewaan Ara, namun Vino tahu gadis itu sangat kecewa.
Vino akhirnya menatap mata gadis di itu.
"Aku punya mantan, namanya Diva. Dia cinta pertama aku. Kita pacaran waktu masih SMP, aku bener-bener cinta sama dia. Kita dari kecil udah bareng-bareng. Sampai akhirnya dia kecelakaan, yang menyebabkannya meninggal."
Bener dia mantannya Vino. Batin Ara.
Ada jeda sejenak. Vino merasa sesak setiap kali mengingat masa lalunya. Namun, dia harus menceritakannya pada Ara. Sudah seharusnya Ara tahu ini.
"Saat itu aku bener-bener kacau, Ra. Hati aku hancur, susah untuk lupain dia. Saat dia udah pergi, aku janji untuk selalu jaga hati aku buat dia. Semakin hari aku semakin sedih, Ra. Aku mengutuk takdir yang tega mengambil orang yang aku sayang. Itu terlalu berat, Ra. Sampai akhirnya aku jadiin perempuan-perempuan itu untuk jadi pelarian aku, Ra. Aku fikir aku akan lupa rasa sakit hati aku. Nyatanya enggak, aku malah semakin merasa bersalah, Ra. Hingga tanpa aku sadari aku terjebak sama permainan aku sendiri, aku jatuh cinta sama salah satu pacar aku, dia yang mampu buat aku langgar janji aku untuk jaga hati buat Diva. Tapi, aku telat nyadarinnya, Ra. Aku terlalu sering nyakitin dia. Orang itu kamu, Ra."
Vino menggenggam tangan Ara. Kali ini tak ada penolakan dari gadis itu. Bahkan air mata Vino kini sudah mengalir membasahi pipi laki-laki itu. Di hadapan Ara, Vino rela meruntuhkan harga dirinya dengan menangis.
"Araisy Denata Putri. Please, forgive me. Aku bener-bener nyesel, Ra. Tolong kembali sama aku. Aku udah putusin semua pacar aku demi kamu, Ra"
Ara bisa melihat ada ketulusan di mata Vino. Bahkan laki-laki itu kini sudah menangis. Ara pun untuk ke dua kalinya menangis di hadapan Vino.
"Vin, gue udah maafin lo kok. Tapi, ada yang nggak bisa lo perbaiki lagi setelah lo hancurin, Vin. Sesuatu yang lo udah hancurin, walaupun diperbaiki nggak akan utuh lagi, nggak akan sama lagi. Begitupun hati gue. Hati gue udah terlanjur hancur, nggak bisa utuh lagi. Gue harap lo paham."
Ara melapaskan genggaman tangannya dari Vino.
"Gue harap ini bisa jadi pelajarannbuat lo. Gue harap lo bisa temuin kebahagiaan lo. Tapi, bukan gue."
"Maaf, Vin."
Ara segera bangkit dari duduknya dan melangkah meninggalkan Vino yang masih terpaku dengan ucapan Ara. Air matanya terus menetes. Mengapa di saat Vino bisa mencintainya justru di saat hati Ara sudah hancur? Kenapa bukan dari dulu? Kenapa baru sekarang? Kenapa harus di saat Ara sudah mulai belajar untuk merelakan Vino?
![](https://img.wattpad.com/cover/224385934-288-k792152.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Araisy [END]
Teen FictionLo terlalu baik sih, sampai hati aja rela lo bagiin sampai habis. Sampai lo nggak punya hati lagi! -Araisy . . . Bercerita tentang Araisy yang ceria, cerewet, dan penyabar. Juga tentang Vino yang egois dan playboy. Kuatkah Araisy menjalani hubungan...