Araisy 46

3.1K 126 0
                                    

Di sebuah ruangan dengan dinding bercat putih, kini tengah diisi oleh beberapa orang yang diliputi oleh perasaan cemas dan kekhawatiran pada sosok gadis yang tengah terbaring dengan lemah di atas brankar rumah sakit. Gadis itu adalah Ara, dia masih setia memejamkan mata dari semalam.

"Ara, bangun dong sayang. Kamu nggak capek apa tidur terus?"

Seorang pria paruh baya, yang tak lain adalah ayah dari Araisy hanya mampu menenagkan istrinya yang masih meneteskan air matanya. Sembari mengelus rembut Ara dan menggenggam tangannya, seraya terus bergumam agar Ara cepat sadar.

"Ara pasti bangun." Ucapnya sambil merangkul istrinya yang duduk di kursi samping brankar. Sementara dirinya kini tengah berdiri di samping wanita itu.

Rio yang menyaksikan Bundanya begitu rapuh hanya mampu menatap wanita itu dengan sedih. Rio juga sama, khawatir pada kondisi Ara.

Di tengah cemasnya dan rasa sedih orang-orang yang ada di ruangan itu, bola mata dari gadis yang tengah terbaring itu bergerak-gerak dengan kondisi mata masih tertutup. Menandakan bahwa ia akan segera membuka matanya.

Ayah Ara yang melihatnya segera membungkukkan sedikit badannya untuk lebih dekat dengan  putrinya. Ada perasaan yang membuncah dalam hatinya. Ada harapan yang kian merambat, berharap putri kecilnya segera membuka mata.

Istrinya pun ikut memperhatikan Ara. Berharap agar Ara benar-benar membuka matanya sebentar lagi.

Hingga perlahan kelopak mata gadis itu sedikit demi sedikit terbuka hingga menampilkan obsidian berwarna coklat terang milik gadis itu. Tatapannya mengedar, menyusuri setiap jengkal ruangan yang dia tempati. Hingga tatapannya tergenti pada dua paruh baya yang menatapnya dengan binar bahagia itu.

"Ara." Ucap keduanya yang membuat atensi dari manusia lainnya mengarah pada gadis yang baru saja membuka matanya. Orang-orang yang ada di sana segera mendekati brankar gadis itu.

"Ayah panggilin dokter dulu."

Tak lama dokter datang dengan seorang perawat. Dokter laki-laki yang diperkirakan umurnya memasuki kepala tiga itu mulai memeriksa Ara.

"Syukurlah, keadaan pasien mulai membaik, dan untungnya pasien tidak mengalami trauma karena kejadian yang di alami pasien. Namun, pasien masih belum boleh terlalu banyak menggerakkan kakinya. Untuk pemeriksaan lebih lanjut mengenai kondisi kaki pasien saya akan melakukan pemeriksaan lagi nantinya."

"Alhamdulillah. Terima kasih, dok."

Dokter tersebut membalsnya dengan senyuman.

"Kalau begitu saya permisi."

Semua yang ada di ruangan itu mengangguk. Lalu segera mendekat ke arah Ara kembali.

"Araaaa. Gue khawatir banget sama lo. Ya ampun. Mana, yang sakit Ra?? Mana???" Sembur Anggi dengan hebohnya sambil menatap Ara dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan tangan Ara yang di genggamannya.

Hal itu membuat yang lainnya terkekeh karena tingkah gadis itu. Sedangkan Rio? Laki-laki itu memutar bola matanya malas.

"Nggak ada, Gi." Jawab Ara dengan sedikit lemas.

Ara mengalihkan atrnsinya pada Rio dan Rendi.

"Vino gimana?"

Pertanyaan Ara membuat semua yang ada di sana hanya diam. Tak tahu harus menjawab apa.

"Kok pada diem? Vino gimana? Baik-baik aja kan? Tuntut gadis itu dengan perasaan khawatir.

"Ara tenang dulu yah sayang. Vino nggak kenapa-kenapa."

Araisy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang