Kini Vino tengah mengenakan sepatunya untuk berangkat sekolah. Vino sudah bertekat bahwa dia akan meminta maaf pada Ara. Vino belum bisa mengakui bahwa dia perlahan sudah menyayangi Ara, sudah menempatkan gadis manis itu di hatinya. Entahlah, Vino belum yakin dengan fakta itu.
"Mah, Vino berangkat ya."
Wanita paruhbaya yang sudah melahirkan Vino lengsung mengalihkan atensinya dari TV yang menayangkan acara gosip ke arah anaknya.
"Iya."
Vino langsung menghampiri mamanya dan menyalimi tangannya.
"Hati-hati."
"Siap ibu negara. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Vino segera bergegas keluar dari rumahnya, menuju garasi untuk menghampiri motor sportnya. Vino segera memacu kendaraan membelah jalanan ibu kota yang sudah ramai pagi hari ini.
Saat sampai di sekolah, Vino langsung memarkirkan motornya, dan berdiam diri di atas motornya menunggu kedatangan Ara.
.
.
.Sementara itu, seorang gadis tengah berada di jalanan, membonceng pada motor yang dikendarai oleh Rio. Angin berhembus lumayan kencang, membuat rambutnya terbang kesana kemari.
Susana hati Ara tak seburuk kemarin saat memergoki Vino bersama dengan Meta. Ara sadar, Ara hanya salah satu kekasih Vino. Jadi Ara tidak terlalu berhak untuk melarang Vino melakukan apapun. Lagi pula Ara sadar, Vino hanya menganggap hubungan mereka main-main. Vino tidak menyukai Ara, Vino memang memberikan status untuk hubungan mereka. Tapi, tidak dengan hatinya.
"Yo, gue udah cantik kan? Udah cute banget kan? Manis kan Yo?"
Rio hanya mengabaikan pertanyaan itu.
"Yo, bunda tuh dari tadi kenapa cerewet banget sih? Eh, tapi emang biasanya cerewet sih."
"Yo, ngomong kek. Diem mulu lo. Nahan berak ya? Ih, Rio mah nggak asik lo!"
Rio yang jengah dengan ocehan Ara langsung sedikit menambah kecepatan motornya. Rio sudah tidak tahan dengan suara gadis itu. Tak ada hentinya mengoceh. Apa tidak lelah? Rio yang mendengarnya saja sangat lelah.
"Yo, pelanin dikit kek motor lo! Gue udah sisiran nih, berantakan lagi entar rambit gue! Gue nggak bawa sisir Rioooo! Pelanin!"
Bukannya memelankan lajunya, Rio malah menambah kecepatan motornya.
Ara langsung saja memeluk Rio dengan erat. Dasar adik tidak tahu diri! Disuruh pelan malah semakin cepat laju motornya. Ingin Ara lempar rasanya adiknya yang tampan ini ke lautan. Tapi, apalah daya, tubuhnya yang kecil mana bisa melempar tubuh Rio yang tinggi dan kekar itu.
"RIOOOO! AWAS AJA NANTI LO. GUE ADUIN KE BUNDA! GUE BANTING PLAY STATION LO! BODO NGGAK PEDULI GUE! DASAR ADEK DURHAKAAAA!"
Sementara Rio yang mendengar ocehan Ara, menggeram kesal. Suara Ara itu bagaikan bisikan maut yang kapan saja bisa membuat gendang telinganya pecah. Satu lagi, ingatkan Ara dia sedang mengendarai motornya. Kalau sampai terjadi apa-apa bagaimana? Konsentrasinya bisa saja buyar karena teriakan Ara. Namun, di samping itu, Rio juga puas karena sudah membuat Ara ketakutan. Wajar saja, sedari tadi Ara selalu mendebatkan hal yang tidak penting, yang membuat Rio ingin menurunkan saja Ara di jalanan.
"Lo diem bisa nggak si, kak?! Ngapain juga lo nebeng gue. Mobil lo juga, udah jelek pasti tuh mesinnya, makannya mogokan. Kalau gue jahat udah gue turunin lo di tengah jalan tadi."
Ya, Rio memang akan banyak bicara, tapi jika itu hanya untuk mengomeli Ara. Entah mengapa, jika dengan Ara jiwa emak-emak Rio yang suka mengomel ingin dituntaskan segera.
"Jahattt. Pelanin dong, gue diem nih."
Tanpa banyak bicara lagi Rio segera memelankan laju motornya.
Ara sendiri bisa bernafas lega, karena merasa kematian sudah tidak berada di depan matanya. Dasar adik durhaka, ingin membunuh kakaknya sendiri pagi ini! Bolehkah Ara menendang Rio nanti saat tiba di sekolah? Tapi rasanya mustahil. Tubuh mungilnya mana mungkin kuat menendang Rio. Bukannya Rio yang tersungkir malah yang ada dirinya yang mental.
Ara dan Rio akhirnya sampai di sekolah, setelah motor yang mereka tumpang Ara langsung buru-buru turun dari motor, lalu melepas helm yang dia kenakan dan dengan cepat melihat rambitnya dari kaca spion di motor Rio. Ara langsung memelototkan matanya kala menyadari penampilannya. Muka pucat karena membonceng Rio yang seolah ingin mengajaknya mati, dan rambut acak-acakan tak beraturan. Benar-benar Ara ingin mencakar wajah tampan adiknya itu.
"OMG, Rioo penampilan gue nggak banget! Ini semua gara-gara lo, Yo asli. Gue sebel banget sama lo. Nggak lagi-lagi gue mau dibonceng sama lo! Naik motor kaya ngajak mati!"
Rio hanya merotasikan bola matanya jengah dengan kehebohan gadis di dekatnya ini, yang sayangnya adalah kakak kandungnya sendiri.
Ara langsung menatap Rio dengan memicingkan matanya.
"Oh, atau jangan-jangan lo sengaja ya?! Sengaja lo mau bikin gue sport jantung?! Mau bikin gue mati muda?! Iya kan?! Ngaku lo! Lo punya dendam kan sama gue?!" Tudingnya dengan menunjuk wajah Rio.
Demi Tuhan telinga Rio sudah pengang mendengar ocehan Ara. Bisakah Rio menghilangkan Ara sekarang? Rio benar-benar jengah dengan suara Ara yang mirip seperti toa. Dengan mengabaikan Ara, Rio segera berjalan meninggalkan Ara.
Ara yang mengetahui Rio mengabaikannya segera membesarkan matanya. Dasar tidak bertanggung jawab! Adik tak tahu diuntung! Durhaka! Ara segera ingin mengejar Rio untuk lanjut mengomeli laki-laki itu. Namun, semua batal karena ada tangan yang memegang lengannya. Ternyata orang itu adalah Vino. Ara sedari tadi tidak menyadari keberadaan Vino, karena terlalu bersemangat memberikan ceramah pagi dengan nada tak santai pada adik tersayangnya.
Vino sebenarnya sudah menyadari kehadiran Ara dan Rio semenjak mereka baru tiba, namun Vino tak berniat buru-buru menghampiri Ara. Vino ingin menikmati pemandangan pagi yang menyegarkan matanya. Melihat kekesalan Ara. Baginya Ara yang sedang marah-marah sangat terlihat menggemaskan. Sayang jika Vino harus menghentikan aksi Ara mengomeli Rio.
Ara yang tersadar bahwa tangannya dipegang oleh Vino, refleks langsung melepaskan genggaman itu. Ara masih kesal dengan kejadian kemarin. Ara masih menyimpan amarah dari kejadian kemarin. Ara masih belum ingin bertemu apalagi bicara pada Vino.
Vino yang menyadari Ara melepaskan genggamannya dengan paksa hanya bisa diam. Dia paham, Ara masi kesal dengan tingkahnya.
"Aku mau bicara."
"Gue buru-buru. Kapan-kapan aja." Ara berniat pergi. Tapi, Vino menahannya dengan menggenggam lengannya lagi.
"Gue kan udah bilang. Gue buru-buru!" Bentak Ara dengan berusaha melwpaskan cekalan Vino. Namun, hasilnya nihil. Vino tak melepaskan cekalannya.
"Bentar aja, Ra" ucap Vino masih dengan nada lembut.
"Gue nggak bisa!"
"Ra, kita harus selesain masalah kemarin sekarang. Kalau bukan sekarang sampai kapan kamu mau selesain ini, Ra?"
Ara terdiam, benar juga apa kata Vino. Semuanya harus diselesaikan. Tidak mungkin juga bukan, Ara harus berpacaran, namun keadaannya seperti ini? Baiklah, kali ini Ara mendengarkan Vino. Ara juga tidak ingin terus marah kepada Vino.

KAMU SEDANG MEMBACA
Araisy [END]
Fiksi RemajaLo terlalu baik sih, sampai hati aja rela lo bagiin sampai habis. Sampai lo nggak punya hati lagi! -Araisy . . . Bercerita tentang Araisy yang ceria, cerewet, dan penyabar. Juga tentang Vino yang egois dan playboy. Kuatkah Araisy menjalani hubungan...