"Ra, pulang kuy."
Ara yang tengah membereskan peralatan sekolahnya memandang Anggi.
"Duluan aja. Gue mau ke toilet dulu. Agak lama deh kayanya."
"Gue tungguin aja." Ujar Rendi.
"Eh, nggak usah. Gue sendiri aja. Lo berdua pulang duluan aja nggak papa. Gue nggak bakalan hilang kok." Balas Ara dengan kekehan di akhir ucapannya.
"Lagian mana ada yang mau nyulik lo." Sewot Anggi.
"Udah lah. Kita pulang duluan aja. Ayo Ren." Tanpa basi-basi Anggi segera menarik Rendi keluar kelas. Rendi yang sudah ditarik oleh Anggi hanya mampu melambaikan tangannya ke arah Ara.
Lalu setelahnya Anggi dan Rendi keluar kelas. Meninggalkan Ara yang masih membereskan peralatan sekolahnya.
Setelahnya gadis itu keluar sambil menggendong tasnya di punggung. Ia menyusuri koridor yang sudah sepi karena bel pulang sekolah sudah berbunyi 10 menit yang lalu.
"Huft, gara-gara catetan biologi gue jadi baru keluar kan." Gerutunya di sepanjang jalan.
Sedang asiknya menggerutu, tiba-tiba pandangannya terhenti saat dia di persimpangan koridor. Di depan sana, Vino berdiri dengan Bagas dan Fatha. Laki-laki itu juga sama. Terpaku menatap Ara. Dari tatapan keduanya ada sesuatu yang terpendam memberontak ingin diluapkan.
Tak kuat dengan pandangan Vino. Akhirnya Ara segera berbelok, malanjutkan langkahnya menuju toilet.
.
.
.Selesai dengan urusannya, Ara segera keluar dari toilet. Ia berjalan seorang diri. Saat ia akan berbelok di persimpangan. Tiba-tiba mulutnya sudah dibekap dengan kain. Ara sekuat mungkin mencoba memberontak, berusaha untuk tahan nafas pun percuma karena tak akan bisa. Hingga akhirnya pergerakkannya melamah, dan semuanya menjadi gelap.
Samar-samar ia masih mendengar suara orang yang berbicara.
"Bawa dia."
.
.
.19.45
Rio berulang kali melirik jam dinding yang menggantung di ruang tamu dan ke arah pintu utama rumahnya. Dia tak menunjukkan ekspresi apapun. Namun, dari gerak geriknya yang selalu melirik ke arah jam dan pintu menunjukkan secara tidak langsung bahwa dia tengah khawatir atau menunggu kedatangan seseorang.
Bundanya duduk di hadapannya dengan gusar, dan ayahnya yang duduk di samping bundanya sambil merangkul wanita paruh baya itu, guna meredakan rasa khawatirnya.
"Mas, Ara kenapa belum pulang sih jam segini."
"Udah, kamu tenang dulu ya. Siapa tahu Ara pulang telat."
"Aku kenal Ara, Mas. Dia kalau pulang telat pasti ngabarin. Handphonenya juga nggak mati kok. Udah dihubungin, tapi nggak diangkat. Ara nggak biasanya kaya gini."
Rio dan Ayahnya yang mendengar penuturan wanita itu dalam hatinya membenarkan. Perasaan ketiga orang itu semakin gusar tak menentu.
"Rio, coba kamu hubungin temennya Ara. Tanyain apa Ara sama mereka nggak."
Rio segera mengangguk dan melakukan apa yang ayahnya katakan.
Rio segera menghubungi nomor sahabat kakaknya, Anggi.
Tuuutt
Dering pertama belum diangkat.
Tuuuttt
Akhirnya dering kedua membuahkan hasil.
"Halo." Sapa orang diseberang sana.
"Halo, kak."
"Ada apa, Yo? Tumben nelfon gue."
"Kak Ara ada bareng lo?"
Di seberang sana, Anggi mengerutkan dahinya. Bingung dengan omongan Rio. Sebenarnya laki-laki itu memberi pertanyaan atau memberi pernyataan. Suaranya sangat datar membuatnya sulit memahaminya.
"Ha?" Hanya itu yang mampu Anggi ucapkan.
Membuat Rio berdecak kesal. Jika bukan karena khawatir pada kakaknya, Rio tak ingin mengulang perkataannya.
"Kak Ara sama Kak Anggi nggak?"
"Ara? Ara nggak sama gue. Emang dia dimana?"
Rio yang mendengar jawaban itu menghela nafasnya kasar. Kemana sebenernya gadis itu?
"Nggak tahu. Belum pulang."
"WHAT?!! Ara belum balik?! Kok bisa?!"
Rio yang mendengar pekikan Anggi segeta menjauhkan ponselnya dari telinganya. Seketika telinganya berdengung mendengar pekikan gadis itu.
"Nggak tahu."
"Coba lo telfon Rendi atau Vino aja. Siapa tahu mereka tahu dimana Ara atau lagi bareng sama Ara."
Tut.tut.tut
Tanpa menunggu lama Rio segera mengakhiri telfonnya. Membuat Anggi berdecak kesal dengan manusia kaku satu itu yang sayangnya adalah adik sahabatnya.
"Gimana?" Sambar Bundanya setelah Rio mengakhiri sambungannya dengan Anggi.
Rio hanya menggeleng sebagai respon. Membuat Ayah dan Bundanya menunduk lesu.
Tuuuuttt
"Halo, Yo. Ada apa?"
"Kak Ara sama lo nggak, Bang?"
Rendi sontak mengernyit bingung. Kenapa Rio menanyakan Ara? Hingga berujung rasa panik menyerangnya.
"Ara nggak sama gue. Dia nggak ada di rumah?"
"Nggak." Jawab Rio singkat. Toh, jika Ara ada di rumah, dia tidak akan bertanya pada Rendi bukan?
"Apa?!! Ya udah gue bantu cari."
"Oke."
Rio mengalihkan pandangan ke bundanya yang tengah memandangnya dengan tatapan bertanya. Rio kembali menggeleng yang membuat Bundanya menunduk sedih.
Tuuuttt
Panggilan masih belum diangkat.
Tuuuuttt
Masih belum diangkat juga pada panggilan kedua. Membuatnya berdecak.
Tuuutttt
Sekali lagi masih belum diangkat. Membuatnya menahan emosi. Kemana orang itu sebenarnya?! Jika bukan karena mencari Ara, Rio tak akn menghubungi orang ini.
Tuuuuuttt
"Halo."
Huft! Akhirnya.
"Kak Ara sama lo?" Tuntut Rio tanpa basa-basi.
"Ara? Dia nggak sama gue. Mana mau dia sama gue."
Rio sedikit mengernyit mendengar jawaban orang di seberang sana. Ini sebenarnya dia menjawab pertanyaan Rio atau sedang curhat sih?
"Gue serius. Ara lagi sama lo nggak?!" Tanya Rio sedikit ngegas.
"Ara nggak lagi sama gue. Dia nggak ada di rumah?!"
Seketika Vino diserang rasa panik saat Rio menanyaka keberaadaan Ara.
Sementara Rio lagi-lagi merasa khawatir yang semakin bertambah. Sekaligus kesal karena pertanyaan bodoh itu lagi-lagi terlontar.
"Nggak."
"Gue ke rumah lo sekarang."
Rio segera mematikan sambungannya dengan Vino. Kambli menatap Bundanya dan menggekang sabgai tanda bahwa mereka tidak bersama Ara saat ini.
Sontak Bundanya terisak di pelukan ayahnya.
"Kamu kemana sih, Raa?" Lirih bundanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Araisy [END]
Fiksi RemajaLo terlalu baik sih, sampai hati aja rela lo bagiin sampai habis. Sampai lo nggak punya hati lagi! -Araisy . . . Bercerita tentang Araisy yang ceria, cerewet, dan penyabar. Juga tentang Vino yang egois dan playboy. Kuatkah Araisy menjalani hubungan...