Kini Ara dan Vino tengah berada di taman belakang sekolah. Keadaan taman saat ini lumayan sepi, hanya ada beberapa siswa yang sedang duduk-duduk untuk sekedar ngobrol atau membaca buku sambil mendengarkan musik. Vino dan Ara duduk di salah satu bangku yang terbuat dari beton.
"Maaf." Ucap Vino untuk membuka pembicaraan mereka.
Ara hanya diam, tidak menanggapi permintaan maaf dari Vino itu.
"Sebenernya kemarin kamu salah paham."
Ara mengernyitkan dahinya sebagai tanda bahwa dia bingung. Bagaimana mungkin dia salah paham? Salah paham bagian mananya?
"Aku sama Meta kemarin nggak ciuman. Kemarin bibir Meta pecah-pecah, terus agak berdarah. Aku cuma mau ngecek aja. Tapi, karena kamu liatnya dari belakang jadi ngira kita ciuman. Lagian aku juga mikir kali, Ra. Itu masih di sekolah, gimana mungkin aku sama Meta ciuman di tempat umum."
Mendengar pernyataan Vino, Ara segera menelisik melalui mata laki-laki itu. Apakah ada kebohongan atau tidak. Namun, nihil. Vino mengatakan yang sejujurnya. Ara jadi merasa bersalah kalau begini.
"Terus kenapa nggak ngomong kemarin?"
"Kamu lagi emosi, mana mungkin percaya sama aku. Lagian juga kemarin kamu sama Rendi, aku juga jadi ikutan emosi. Waktunya nggak pas kalau kemarin aku bilang."
Benar juga, batin Ara. Kalau kemarin Vino menjelaskanpun Ara tidak akan mungkin percaya dengan emosi yang dirasakannya.
"Maaf." Ucap Ara.
"Hey, kenapa kamu minta maaf?" Tanya Vino dengan menggenggam tangan Ara.
"Gue udah salah paham sama lo, gue udah nuduh lo, gue udah marah-marah sama lo."
"Kamu nggak salah. Wajar kalau kamu marah sama aku."
Setelahnya hening menyelimuti keduanya selama beberapa menit, hingga akhirnya Vino membuka suaranya.
"Aku putus sama Meta."
Ara yang mendengarkannya langsung membulatkan matanya. Bagaimana Ara tidak terkejut. Setahu Ara, Vino itu sangat perhatian kepada Meta. Bahkan Ara mengira Vino memperlakukan Meta dengan sangat spesial karena Vino mencintai Meta. Namun, sekarang mengapa mereka putus?
"Kok bisa? Gara-gara gue ya?"
Vino menggeleng sesaat menjawab itu. Memang bukan karena Ara dia dan Meta memilih mengakhiri hubungan.
"Bukan gara-gara kamu, Ra. Aku sama Meta sepakat mengakhiri hubungan kita. Karena Meta tahu, hati aku bukan buat dia."
"Terus hati lo buat siapa emang?"
Vino hanya diam, belum menjawab pertanyaan Ara. Karena Vino sendiri bingung, sebenarnya hatinya ini apa benar sudah jatuh pada gadis di dekatnya ini? Vino jujur masih ragu untuk itu.
Sementara Ara merasa cemas menunggu jawaban dari Vino. Ada harapan dalam hatinya bahwa hati Vino sudah jatuh padanya. Ara benar-benar berharap begitu.
"Aku belum tahu, Ra."
Jawaban dari Vino seketika mematahkan harapan yang Ara bangun. Mana mungkin seorang Vino bisa jatuh hati pada Ara. Kira-kira begitu yang Ara pikirkan.
"Tapi, yang pasti aku mulai sayang sama kamu. Bener-bener sayang sama kamu sebagai pacar aku. Nggak cuma menganggap kamu sebagai mainan aku, Ra."
Penjelasan Vino menumbuhkan harapan Ara yang sebelumnya patah. Vino benar-benar membolak balikkan hatinya. Memporak porandakan perasaannya. Baru saja Ara merasa jatuh namun sekarang diangkat tinggi. Jantung Ara berdebar mendengar pernyataan Vino, senyumnya tak tahan untuk ia perlihatkan, semburat merah di pipinyapun dengan tidak tahu malunya muncul seenaknya. Ara benar-benar dibuat terbang oleh ucapan Vino itu.
"I- itu serius?" Tanya Ara dengan senyuman yang merekah di wajahnya, memperlihatkan kedua lesung pipinya.
"Iya, Ra. Aku serius."
Ara benar-benar sudah tidak dapat menahan perasaannya. Ara langsung menubruk tubuh kekar Vino. Menenggelamkan wajahnya pada dada bidang Vino, meluapkan segala perasaannya yang membuncah oleh rasa bahagia atas pengakuan Vino.
Vino yang mendapat pelukan secara tiba-tiba dari Ara pun mematung untuk sesaat, sebelum akhirnya Vino melingkarkan tangannya membalas pelukan erat dari Ara. Entah mengapa, jantungnya juga berdebar karena pelukan dari Ara. Apakah Vino mulai memiliki rasa untuk Ara? Yang pasti Vino sangat bahagia dan bersyukur bisa bertemu dengan Ara.
.
.
.Ara kini tengah duduk di bangkunya, masih dengan senyum manis yang terpatri di wajahnya. Untung kelasnya belum ada guru yang masuk, Ara yakin dia tak akan fokus mendengarkan penjelasan gurunya. Pikirannya terus melayang pada Vino. Belum ada satu jam Ara berpisah dari Vino, rasanya Ara sudah merindukan laki-laki itu.
Anggi yang duduk di sebelah Ara mengamati Ara dengan dahi berkerut. Ada apa dengan sahabatnya itu? Apakah kerasukan penunggu kelas? Karena Ara sangat aneh saat ini. Senyum-senyum sendiri tidak jelas. Anggi mencoba memanggil Ara untuk menyadarkan gadis itu.
"Ara." Tak ada sahutan di panggilan pertama.
"Ra." Masih sama, nihil. Jujur, Anggi mulai was-was dengan tingkah Ara.
"RA!!" Akhirnya dengan tepukan keras di bahu Ara dan dengan suara kencang tepat di samping telinganya, Ara bisa tersadar dari lamunannya, meskipun harus dengan kekagetan yang luar biasa dan telinga yang pengang akibat suara toa dari Anggi.
"Ck. Apa sih, Gi? Santuy dong kalau manggil. Kaget nih gue! Mana kuping gue sakit lagi!"
"Heh! Lo aja yang budek, congean! Gue udah manggil lo dari tadi, lo nya malah nggak denger. Asik sama khayalan lo yang bikin lo senyum-senyum. Gue tuh khawatir, Ra."
Ara mengernyitkan dahinya. Apakah benar begitu? Ara tidak merasa Anggi memanggilnya. Apakah efek dari Vino sebegitu gilanya? Lagi pula, apa yang Anggi khawatirkan dari dirinya juga?
"Khawatir kenapa?"
"Takut lo kerasukan. Kan nggak lucu."
PLETAK
"Awww." Ringis Anggi sambil memegang kepalanya setelah Ara menjitak kepalanya.
"Ngawur lo kalau ngomong! Mana ada gue kerasukan!"
"Ya kan bisa aja. Lagian lo ngapain sih pake senyum-senyum nggak jelas gitu?! Mana dipanggil nggak nyaut-nyaut lagi."
Mendengar pertanyaan Anggi, Ara malah kembali senyum-senyum sendiri membayangkan ucapan Vino tadi. Sungguh Ara sepertinya memang sudah benar-benar gila karena Vino.
"Gue lagi seneng banget Gi, akhirnya penantian gue nggak sia-sia. Vino tadi bilang dia udah mulai sayang sama gue, Gi aaaa, gue happy." Pekik Ara pelan, dengan mata berbinar sambil mengguncangkan bahu Anggi.
"Demi apa?! Serius lo?!"
"Iya lah, makannya gue seneng banget sekarang."
"Akhirnyaaa, pengorbanan lo terbalas sedikit demi sedikit. Ikut seneng deh gue."
Ara dan Anggi sama-sama tersenyum bahagia dengan kemajuan di hubungan Ara dan Vino.
Sementara Rendi yang duduk di belakang Ara, tak sengaja mendengar obrolan kedua gadis itu. Jujur hatinya sakit, namun dia juga ikut bahagia melihat Ara bahagia. Apakah sudah tak ada harapan lagi bagi Rendi memiliki Ara? Jika memang tidak ada, maka Rendi akan berusaha melupakan Ara. Rasa yang Rendi miliki untuk Ara itu tulus. Rendi tak ingin menjadi manusia egois dengan memaksakan kehendaknya untuk memiliki Ara. Jika Ara sudah bahagia bersama Vino, maka Rendi akan meikhlaskannya. Semoga Ara selalu bahagia, itu harapan Rendi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Araisy [END]
Ficção AdolescenteLo terlalu baik sih, sampai hati aja rela lo bagiin sampai habis. Sampai lo nggak punya hati lagi! -Araisy . . . Bercerita tentang Araisy yang ceria, cerewet, dan penyabar. Juga tentang Vino yang egois dan playboy. Kuatkah Araisy menjalani hubungan...