Kini jam istirahat tengah berlangsung. Ara dan Anggi sudah duduk di kantin dengan ditemani sepiring batagor dan es teh untuk mereka masing-masing. Anggi sudah sibuk memakan batagor yang tersaji de depannya. Sedangkan Ara, gadis itu hanya menatap makannnya dengan pandangan kosong, sambil mengaduknya.
Anggi yang tersadar dengan tingkah sahabatnya langsung memfokuskan dirinya dengan gadis yang duduk di depannya. Anggi tahu betul apa yang membuat Ara seperti ini.
Anggi mengalihkan pandangannya pada meja yang tak jauh darinya. Di sana terdapat dua manusia berlawanan jenis sedang duduk berdua sambil suap-suapan dengan mesranya. Dia adalah Vino dengan slah satu kakak kelasnya sekaligus salah satu pacar Vino, Rini. Anggi mendengus pelan. Hanya gara-gara Vino Ara jadi begini.
Ara sibuk melamun, terus menunduk, takut jika dia mengangkat kepalanya maka akan melihat sesuatu yang menyakiti hatinya. Dia hari ini sudah terlalu merasakan sakit berulang kali.
"Mau sampai kapan lo aduk tuh batagor? Nggak laper apa?"Ara mengangkat kepalnya dan menatap Anggi. Anggi dapat melihat dengan jelas raut wajah sendu Ara.
"Gue sakit, Gi."
"Gue tahu. Tapi, jangan gini. Hati lo udah sakit, jangan sampai fisik lo juga sakit. Lo harus makan. Karena bertahan sama cowok playboy juga butuh tenaga."
Ara tak bergeming. Dia malah diam menatap makannya.
"Udah habisin sekarang!"
Akhirnya Ara memakan makannya, walaupu dia tidak nafsu untuk makan. Ara ingin segera pergi dari kantin. Namun, Ara tak mau dianggap lemah jika dia harus menghindari semua.
Setelah makanan Ara dan Anggi habis, keduanya langsung keluar dari kantin. Mereka melewati meja Vino dan Rini. Namun, kedua gadis itu tak menghiraukannya. Vino yang melihat Ara hanya melewatinya saja tanpa menyapa juga hanya diam, tidak terlalu peduli.
.
.
.Tepat pukul 16.00 bel di Nusa Bangsa berbunyi menandakan pelajaran untuk hari ini berakhir, dan semua murid diperbolehkan untuk pulang. Ara dan Anggi sudah berkemas siap-siap akan pulang.
"Lo pulang bareng siapa, Ra? Lo kan nggak bawa mobil."
"Bareng Rio, Gi."
Anggi hanya mengangguk. Kedua gadis itu melangkahkan kakinya menuju area parkir. Anggi memasuki mobilnya, sementara Ara menunggu Rio di samping motor milik adiknya.
"Gue duluan, Ra."
"Oke. Hati-hati."
Setelahnya mobil yang dinaiki Anggi melaju meninggalkan area sekolah. Ara masih setia menunggu Rio yang tidak kunjung terlihat batang hidungnya. Tiba-tiba handphon yang ada di saku roknya bergetar. Ara langsung mengeluarkan handphonenya, di sana terpampang chat dari kontak Adek ganteng, yang tentunya bukan Ara yang memberi nama kontak itu. Tetapi, Rio sendiri yang menamaknya. Sudah berulang kali Ara mengganti nama kontak itu, tapi Rio lagi-lagi menggantinya. Jadi Ara biarkan saja.
Adek ganteng
Gue latihan.Araisy
Karate?Adek ganteng
Iya lah, apa lagi? Pulang sendiri apa nungguin gue?Araisy
Lama nungguin lo. Gue pulang sendiri ajalah. Lagian bukannya ngomong dari tadi. Gue capek nih nungguin lo. Lagian harusnya gue bisa numpang sama Anggi kalau lo ngomongnya dari tadi.Read.
Ara benar-benar geram dengan adiknya itu. Dia ingin melempar ponselnya, namun sayang. Pesan yang Ara kirim panjang lebar hanya dibaca tanpa dibalas. Jangan lupakan juga Ara yang harus pulang sendiri. Lihat saja nanti di rumah Ara akan buat perhitungan pada Rio.
Akhirnya Ara memutuskan untuk segera pulang. Gadis itu berjalan menuju ke arah halte untuk menunggu angkutan umum. Berkali-kali Ara mengumpati adiknya itu, Ara benar-benar kesal sekarang. Gerutuan senantiasa keluar dari bibir mungilnya, menyertai setiap langkahnya menuju halte. Ara sudah tiba di halte, dan langsung duduk di sana. Sudah tidak terlalu ramai murid yang ada di sana, dan Ara bersyukur akan itu. Setidaknya angkutan yang akan dia tumpangi nanti akan sedikit lebih luang.
Tiba-tiba ada yang menghentikan motornya di depan Ara. Ara tahu betul siapa orang tersebut. Dia adalah kekasihnya, Vino.
Vino melepas helm yang digunakannya.
Ara benar-benar berharap Vino akan mengantarnya pulang. Kedua sudut bibirnya sudah tertarik membentuk sebuah senyuman manis yang sering dia perlihatkan.
"Kenapa belum pulang?"
"Nungguin angkutan. Rio latihan karate. Lama kalau nunggu, bisa sampai mau maghrib. Mending duluan."
"Ooh."
What?! Haya itu?! Vino tidak menawarkan mengajaknya pulang bersama?! Vino malah diam saja. Tak lama dari itu seorang gadis muncul dari sebrang jalan, membawa setumpuk kertas. Dia adalah Sindi.
"Maaf, Vin aku lama fotocopynya."
Vino menganggukkan kepalanya dengan menampilkan senyuman untuk gadis itu, tentu gadis itu adalah kekasih Vino juga.
"Naik." Ucap Vino setelahnya. Bukan pada Ara, namun pada Sindi.
Dengan segera Sindi naik ke motor itu. Dan langsung memeluk Vino dari belakang.
"Duluan, Ra. Hati-hati nunggu angkutannya." Ucap Vino.
Ara hanya menganggukkan kepalanya.
Lantas Vino segera memakai helmnya dan langsung melesat dari hadaapn Ara. Sempat Ara lihat Sindi tersenyum meremehkan ke arahnya.
Bodoh! Ara terlalu berharap pada Vino. Lagi-lagi angannya terlalu tinggi, sampai akhirnya dia tergempas dan merasakan sakit. Vino kembali menyakitinya. Hari ini sudah kesekian kali laki-laki itu membuatnya sakit, entah Vino sadar atau tidak bahwa tindakannya sangat melukai perasaan Ara. Namun, Ara harus terima, putus bukanlah jalan yang ingin Ara lakukan.
Sudah tiga puluh menit setelah kepergian vino dan Sindi angkitan yang menuju ke arah rumahnya tak juga muncul. Sementara halte sudah mulai sepi. Ara benar-benar lelah dan kesal sekarang. Bagaimana caranya dia bisa pulang. Apa Ara harus kembali ke sekolah lagi untuk menunggu Rio?
Di tengah pemikirannya tiba-tiba ada sebuat motor sport yang berhenti tepat di depannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Araisy [END]
Dla nastolatkówLo terlalu baik sih, sampai hati aja rela lo bagiin sampai habis. Sampai lo nggak punya hati lagi! -Araisy . . . Bercerita tentang Araisy yang ceria, cerewet, dan penyabar. Juga tentang Vino yang egois dan playboy. Kuatkah Araisy menjalani hubungan...