Suara Ledakan

11.1K 342 18
                                    

Malam itu waktu sudah menunjukkan pukul 23.40 WIB, namun suara tangisan bayi mungil yang baru 2 minggu keluar dari rahim ibunya itu tak henti-hentinya menangis meskipun berbagai cara dan upaya telah dilakukan Nenek dan Ibunya agar bayi mungil itu berhenti menangis tapi Varo (nama bayi mungil itu) terus saja menangis dengan kencang dan semakin nyaring saja.

Tangisannya yang lantang itu hampir membangunkan seisi penghuni rumah. Mereka bahkan bergantian mengendong Varo dan berusaha menenangkan dengan cara mereka masing-masing namun bayi itu tetap terus saja menangis tanpa henti.

Sampai ketika sekitar pukul 01.20 tangisan Varo mulai berhenti dan beberapa saat kemudian terdengar sebuah suara ledakan mengelegar di atas atap rumah. Suaranya hampir mirip seperti suara petasan atau suara petir yang menyambar di atas genteng.

Awalnya keluarga itu mengira kalau itu suara petir tapi tak ada angin ataupun hujan pada saat itu, lagi pula saat ini adalah musim kemarau maka mereka mengambil opsi kedua menganggap suara ledakan itu adalah suara ledakan petasan yang di mainkan anak-anak, cuma masalahnya anak siapa yang bermain petasan tengah malam begini ?. Sedangkan ini bukan bulan Ramadhan yang umumnya banyak anak-anak bermain petasan atau sekalipun ini bulan Ramadhan anak-anak tak akan bermain petasan selarut ini.

"Ah , sudahlah yang penting tangisan Varo sudah berhenti" pikir Sinta nenek Varo.

Merekapun berniat untuk istirahat tidur sejenak melepas lelah , Namun beberapa saat kemudian tangisan Varo kembali pecah dan sebuah ledakan kembali terdengar, tapi kali ini suara ledakan itu seperti persis berada di depan rumah dan menghantam pagar rumah karena terdengar seperti sebuah percikan ledakan yang mengeser pagar rumah. Seperti suara sebuah besi yang saling menghantam dan mengores hingga menimbulkan suara lengkingan yang bikin ngilu telinga.

Sebenarnya pada saat itu Sinta sangat ingin melihat keluar tapi ia urungkan niat itu karna tangisan Varo dan ia masih harus menenangkan cucunya yang kembali menangis keras. Tidak seperti sebelumnya yang mengangis berjam-jam kali ini tangisan Varo masih bisa di kendalikan. Setelah Varo tenang dan mulai tertidur, Sinta mulai lupa untuk melihat keluar rumah karena terlalu lelah menenangkan Varo dan ia pun mulai ikut tertidur.

Hingga pagi menjelang Sinta terbangun dan bersiap hendak berangkat pergi ke pasar guna berjualan terkejut ketika membuka pintu rumahnya. Ia pun berlari masuk ke dalam rumah dan memanggil anak-anaknya yang masih terlelap tidur. Mereka semua pun bangun ,dengan mata yang masih terkantuk kantuk menghampiri Sinta yang panik.

"Ada apa sih bu, pagi-pagi udah heboh"

" iya nih, masih ngantuk tau"

"Udah sini cepatan ikut ibu lihat keluar"

Mereka semua mengikuti langkah kaki Sinta keluar rumah dengan sangat malas. Sesampainya di depan teras rumh, Sinta menunjuk sesuatu yang berhamburan di lantai teras rumahnya

"Lihat ini apa " Sinta menujuk ke arah teras rumah yang penuh dengan serbuk putih seperti tepung tapi berserakah di teras rumah. Mata Ratih yang awalnya masih setengah terbuka langsung terbelalak melihat apa yang di tunjuk ibunya

"Apa itu ?"tanya Nana anak ketiganya binggung

"Itu tepung " jawab Nina anak keempatnya dengan enteng

"Masak sih tepung" Ratih anak kedua Sinta mendekati benda putih yang berserakah itu dan ingin menyentuhnya tapi sebelum menyentuhnya Sinta sudah berteriak

"Jangan sentuh !"

Ratih mengurungkan niatnya dan hanya memperhatikan benda putih yang halus berserakah di lantai itu dengan seksama.

"Siapa sih yang buang tepung disini, kurang kerjaan banget" keluh Nana.

"Tau deh, usil banget" tambah Nina
Sedangkan Ratih sibuk
memperhatikan benda itu dan sangat penasaran dengan serbuk putih yang mengotori hampir sebagian teras rumah. Ingin rasanya Ratih menyentuhnya untuk memastikan serbuk apa gerangan, hanya saja ibunya melarang untuk menyentuhnya sehingga ia tak bisa merasakan tekstur benda tersebut .

Sinta terdiam dalam pikiranya, entah apa yang ia pikirkan tapi raut wajahnya menampakkan sebuah ketakutan dan kecemasan yang nyata.
Melihat raut wajah ibunya yang gelisah, Nana kemudian berniat untuk membersihkannya tapi lagi-lagi Sinta melarangnya

"Jangan di bersihkan dulu"

"Kenapa ?"jawab Ratih dan Nana hampir bersamaan

"Kita kencingin aj dulu, baru di bersihkan"
kata yang di lontarkan Sinta sontak membuat ketiga anaknya terbelalak mendengarnya.

"Ah gilaa...ngapain kencing disini"seloroh Nina sembari pergi kembali masuk kedalam kamarnya guna melanjutkan tidurnya yang terganggu.

"Udah cepetan kalian kecingin, mumpung kalian baru bangun tidur belum pada kencing kan ?"

"Gak mau ah" tolak Nana
Sedangkan Ratih hanya bisa pasrah dan menurut, lagian tinggal kencing doang ngapain ribet sih.

Ratih dan Nana pun akhirnya mengencingi serbuk putih yang berhamburan di teras rumahnya . Sedangkan Nina yang sudah masuk kedalam kamarnya ogah-ogahan disuruh melakukan hal konyol semacam itu. Namun Sinta terus memaksanya hingga Ninapun akhirnya menurut dengan muka yang cemberut.

Beberapa menit kemudian setelah mendampat komando dari Sinta mereka baru membersihkanya dengan di semprot menggunakan selang air. Setelah di rasa cukup bersih barulah Sinta memutuskan berangkat pergi ke pasar seperti biasanya meskipun agak kesiangan. Karena keseharianya adalah berjualan daging di sebuah pasar elite di kotanya.

Sepanjang perjalanan pikiran Sinta merasa tak tenang seperti ada yang menganjal di hatinya, kejadian barusan sangatlah menganggu pikirannya.
Dirinya masih bertanya-tanya siapa yang melempar serbuk putih di teras rumahnya dan apa tujuanya. Firasatnya selalu mengatakan kalau itu adalah hal buruk, ia merasa akan ada terjadu sesuatu yang buruk akan menimpa keluarganya.

"Aah, sudahlah...! Semoga ini cuma perasaanku saja, semoga keluargaku selalu dalam kondisi baik-baik saja" ujarnya dalam hati.


Santet Pring SedapurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang