Jika dia manusia, maka kamu tak harus melihatnya dari kejauhan, kamu bisa mendekat.
Jika dia manusia, jangan samakan dia dengan benda di museum yang tertutup kaca, tak boleh disentuh.
Jika dia manusia, kamu bisa menggapainya.***
Author POV
"Kak, ini udah gue print semua, tinggal bagian punya Kak Gilang doang, gue pamit balik duluan ya kak, udah hampir jam delapan soalnya." Ujar Fredella yang sedang merapikan kertas-kertas yang baru saja dia cetak.
Gilang menoleh, "Akhirnya kelar juga sebelum jam 10, gila lo ngebantu banget Fre."
Regas menggerakkan kepalanya, melemaskan otot-ototnya, "Bener tuh kata Gilang, lagian ternyata skill ngetik lo juga oke."
Tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka menampilkan sang kepala sekolah, hal yang membuat orang-orang disana tersenyum kikuk.
"Loh ada kegiatan apa ini kok sampai malam kaya gini?" Tanya sang kepala sekolah yang mungkin saja mengetahui masih ada orang di dalam karena sepatu mereka yang berjajar di luar bengkel dan lampu dalam bengkel masih menyala.
Semua yang ada disana bergerak mendekat dan menjabat tangan sang kepala sekolah.
"Ini Pak, kami sedang input data raport." Jawab Tamara.
"Kalian sudah makan?"
"Sudah tadi sore pak." Jawab Gilang.
"Loh kok sore? Yaudah kalau begitu kalian ke warung bakso depan ya, bapak traktir kalian."
"Aduh nggak perlu repot-repot pak, ini kami sudah hampir selesai kok." Ujar Regas tak enak.
"Nggak usah sungkan, anak otomotif yang lagi latihan buat LKS juga bapak traktir, mereka baru saja ke depan."
Mereka saling memandang satu sama lain, seolah sedang bertanya ikut tidak.
"Yaudah bapak tunggu di depan ya." Sang kepala sekolah pergi meninggalkan bengkel.
"Fre, makan dulu ya, nggak papa kan?" Tanya Gilang memastikan.
"Gue juga jadi nggak enak kalau udah kepsek sendiri yang minta kak." Jawab Fredella.
"Yaudah ayo ke depan, pakai sandal bengkel aja."
Dengan berjalan beriringan, mereka berlalu meninggalkan bengkel. Tak ada yang mau bermalam sendirian di bengkel ini, angin malam di bengkel terkadang membuat siapa saja yang disana merasa merinding. Tak lupa dengan ibu peri yang sudah menjadi urban legend di kalangan anak jurusannya yang kemunculannya ditandai dengan aroma bedak membuat bengkel ini terasa beraura beda ketika malam menyapa.
Sesampainya di tempat makan, sang kepala sekolah mempersilahkan mereka memesan makanannya masing-masing. Mereka terkadang terlibat dalam obrolan singkat, walau sedikit canggung karena mereka berbeda jurusan, namun mereka mencoba untuk tetap bersikap biasa.
Usai makan, dan kembali ke bengkel, Fredella ijin untuk pulang terlebih dahulu mengingat jarak rumahnya yang cukup jauh ditambah penerangan di jalan yang dia lalui masih minim membuatnya tak berani mengambil resiko untuk pulang lebih malam lagi.
Fredella berjalan sendirian menuju area parkir, meski harus memutar lebih jauh, dia memilih lorong yang cukup terang karena tak mau bertemu dengan hal-hal aneh yang tak ingin ditemuinya.
Area parkir pun sangat sepi, hanya tersisa beberapa motor yang dia yakini adalah motor orang-orang yang baru saja makan malam bersamanya.
Dia berjalan menuju supri, motor merah kesayangannya dan mulai mengenakan helm nya. Namun sepertinya ini bukan harinya, supri tiba-tiba saja enggan menyala, membuat Fredella sedikit panik, dia tak paham mesin motor sama sekali. Lalu apa yang harus dia lakukan sekarang? Kembali ke bengkel? Tidak ada jaminan bahwa kakak tingkatnya juga paham masalah motor. Telepon keluarganya? Ponsel jadulnya sudah tidak menyala karena kehabisan daya.
KAMU SEDANG MEMBACA
About Us
Teen FictionAku selalu bertanya kenapa dia suka musik keras? Sedang aku? Aku tidak menyukai itu, karena ku pikir hidupku sudah terlalu keras. - Fredella Ayunindya. Fredella selalu mengeluh tentang kesukaan Aksa, mereka berdua bak dua sisi mata uang yang berbeda...