🌹Come back #23

2.4K 362 8
                                    

Mutia

"Kamu gak ikut sepedaan?" Aku menggeleng dan menutup tubuhku dengan selimut.

"Ya udah aku temani di sini ya? Mendadak aku jadi ngantuk lagi lihat selimut."

Tisa beringsut masuk ke selimut yang sama denganku, pagi terniat ala Tisa. Pagi buta habis shubuh dia sudah sampai di rumahku. Kalau hari biasanya aku akan semangat mengayuh sepeda sambil menghirup udara pagi, kali ini aku lebih memilih memejamkan mata. Mata dan kepalaku benar-benar terasa nyeri semalaman aku menangis dan sama sekali tidak tidur.

"Mutia?"

"Hmm, aku ngantuk Tis!"

Tisa memelukku dan tindakannya itu membuatku tak bisa menahan air mata lagi.

"Mau aku temani ke rumah Bang-Sat?"

Aku hanya bisa menggeleng.

Tisa mengusap lenganku beberapa kali. "Tenangin diri dulu ya, sebenarnya aku pengen tanya gimana detilnya tapi lihat kondisi kamu kaya gini, aku malah gak tega."

"Makasih Tisa! Kok kamu bisa di sini pagi-pagi gini?"

Tisa kalau gak pas tidur di sini, gak bakalan sepedaan pagi buta seperti ini.

"Kalau aku bilang di hubungi Syarif gimana?"

"Maksudnya?"

"Gak sih, tadi malam kebetulan kita lagi chat terus tau-tau dia bilang ngelihat Bang-Sat pulang dengan kondisi berantakan, dia nyuruh aku lihat kamu."

"Aku udah jahat banget sama Bang-Sat Tis!"

"Kalian hanya perlu nenangin diri dulu. Ya udah kamu tidur, matanya udah bengkak banget pasti semalam gak tidur! Aku ke dapur dulu mau minta sarapan sama Tante!"

Aku hanya mengangguk saat Tisa meninggalkan aku yang masih mencoba menghentikan tangis. Aku udah jahat banget, aku yang gak pernah menghargai usaha Kak Satria, aku yang hanya bisa menuntutnya tanpa memberikan yang terbaik buat dia. Rasanya emang sesakit ini karena aku telah jatuh cinta teramat dalam padanya.

Siang hari aku baru bangun, Untung ada tanggal merah jadi aku gak perlu susah memikirkan bagaimana caranya membuat mataku tidak bengkak lagi untuk ke sekolah.

Selesai sholat, aku meraih hpku. Mencoba menghubungi satu-satunya orang yang sukses menyita pikiranku.

"Halo Ya'!"

Pengaruhnya emang sebesar ini dalam hidup aku,  buktinya hanya dengar suaranya saja membuat mataku kembali memanas

"Ya'!"

"Kak!"

Aku mendengar suara gemuruh dari seberang, sepertinya Kak Satria sedang tidak dirumah.
Untuk beberapa saat hanya helaan nafasnya yang terdengar, mati-matian aku menahan isak tangis agar tidak terdengar olehnya.

"Udah ya nangisnya!"

Tapi sepertinya gagal, karena dia tahu aku menangis. Ucapan lembutnya justru membuat aku semakin tidak bisa menghentikan tangis ini.

"Mutia! Aku matiin ya teleponnya! Aku lagi diluar, gak enak sama yang lain. Kamu istirahat, dan jangan banyak pikiran!"

"Kak?"

"Jangan pikirin aku, aku baik-baik saja pastinya!"

Setelah mengucapkan itu dia benar-benar memutus teleponnya. Kenyataannya memang seperti itu, mana mungkin seorang Satria bisa sesedih yang kubayangkan hanya karena ada masalah denganku, seorang Mutia yang mungkin saja tidak berarti apa-apa. Kalau dia mau pasti banyak wanita yang jauh lebih baik daripada aku.

Ha-ha.. mutia! Jadi kamu hanya patah hati sendirian?

******

Satria

Aku masih memandang laut yang membentang luas di depanku. Tanganku masih erat mengenggam hp yang baru saja ingin aku lempar.

"Kata orang, coklat panas bisa mengembalikan suasana hati yang sedang buruk!"

"Makasih Mit!"

Aku menerima cangkirnya dan menghirup aroma coklat panas yang Mitha buatkan. Memang benar, aromanya menenangkan, seperti aroma coklat yang selalu tercium dari rambut Mut--

Shit! Bahkan masih sesakit ini hanya dengan mengingat wangi rambutnya.

"Gak ikut berenang?"

"Nanti, masih dingin!"

"Haha, udah siang kali Sat! Masa dingin."

Aku hanya mengangkat bahu, tidak punya sanggahan atas kalimat Mitha. Tadi pagi aku memutuskan untuk ikut Mitha dan teman-teman lain menghabiskan libur panjang, di akhir bulan ini kebetulan ada tanggal merah setelah minggu.

Iwan yang kebetulan rumahnya di Jogja bagian selatan mengajak kami untuk menghabiskan libur panjang ini di queen of the south parangtritis. Sebuah villa dengan pemandangan pantai parangtritis yang begitu indah. 

"Sat!"

Aku menoleh ke arah Mitha yang duduk di sampingku.

"Merasa lebih baik?"

Aku memilih tersenyum , ikut mereka kesini emang lumayan bisa membuatku lupa sejenak tentang semalam.

"Gue gak enak kalau lihat wajah lo kusut Sat!"

"Sorry ya, gara-gara gue jadi pada pengaruh ke kerjaan!"

"Bukan itu Sat, gue ngerasa ikut sedih aja kalau lihat lo kusut gitu."

Entah efek aku yang sedang gak enak hati atau emang benar ada yang salah dari kata-kata Mitha?

"Kita kan teman Sat! Gak apa-apa kan teman ikut sedih pas temannya sedih juga!" Tambahnya lagi setelah terang-terangan aku menunjukkan rasa penasaranku.

"Gue masuk dulu ya Mit!"

"Iya Sat! Istirahat aja!"

Aku mencoba memejamkan mata walau sejenak, Entah berapa lama sampai aku bisa benar-benar tertidur dan kembali terbangun oleh gerakan dari Mitha yang menutupi tubuhku dengan selimut.

"Eh! Sorry, malah keganggu ya tidurnya?"

"Jam berapa ini Mit?"

"Lo baru tidur setengah jam yang lalu Sat!"

Aku adalah satu dari sekian banyak orang yang susah tidur lagi ketika sudah terbangun, aku memilih menyandarkan punggung ke sofa sambil melihat tv.

"Lo kenapa sih Sat?" Tanya Mitha lagi, dia ikut duduk disampingku melihat tv yang entah sedang menayangkan apa.

"Menurut lo, apa yang paling penting dalam sebuah hubungan Mit?"

Mitha menatapku sebentar, berusaha mengerti apa yang sedang ingin aku bicarakan.

"Kepercayaan dan kenyamanan dari keduanya. Kenapa? Lo sedang krisis kepercayaan sama pasangan?"

"Gue selalu yakin dan percaya sama apa yang gue lakuin."

"Berarti pasangan lo yang gak percaya sama lo, hm?"

"Mungkin, gue emang sebrengsek itu dan gak bisa di percaya."

"Haha, masa sih? Seorang Satria terdengar putus asa? Yang gue lihat lo itu emang kusut dan capek banget, tapi masa sih lo lagi patah hati? Ayolah, seorang Satria itu gak akan mudah patah hati begitu saja."

Aku hanya tersenyum tipis, begitu ya? Ternyata emang seperti itu orang-orang melihatku, seorang Satria yang gak mungkin patah hati karena cewek, seorang Satria yang bisa dapat cewek manapun yang dia mau.

Bullshit itu semua, entah apa yang aku perbuat selama ini sampai orang-orang bisa menilaiku sedemikian brengseknya. Apa aku jadi orang terlalu baik sampai banyak orang yang salah paham dengan sikapku selama ini?

Gimana bisa aku menjalani hidup tanpa Mutia, sedangkan hanya dia yang bisa mengerti aku, hanya dia yang selalu melihatku dari sudut pandang lain, hanya di depannya aku bisa menunjukkan sisi lemahku, yah walaupun pada akhirnya karena keadaan juga akhirnya dia menyerah dan menganggapku hanya main-main saja.

atau memang karena bukan dia orang yang Tuhan takdirkan untukku?

Come Back!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang